masukkan script iklan disini
Oleh: Abdy Busthan, S.Pd., M.Pd
Sesungguhnya dalam konstitusi Indonesia, hanya ada satu nomenklatur yang digunakan untuk menyatakan kesamaan dan kesetaraan, yaitu “warga negara” Indonesia. Artinya bahwa apapun bentuk status dan kedudukan sosial serta latarbelakang suku, agama, ras dan lain sebagainya, yang dimiliki oleh seseorang, maka kedudukannya sebagai warga negara juga “setara” dengan kedudukan orang-orang lain yang berada disekitarnya.
Fakta ini ingin menegaskan bahwa konstitusi negara kita tidak mengakui adanya penempatan atau pengelompokan perbedaan ukuran dalam jumlah takaran-takaran seperti: besar-kecil, tinggi-pendek, hitam-putih, bahkan mayoritas-minoritas.
Namun pemahaman akan kesetaraan warga negara ini, sepertinya selalu menjadi jajanan menggiurkan bagi segelintir elit politik dalam gelaran pesta demokrasi di republik kita tercinta. Sebut saja jargon-jargon kampanye yang berbunyi “larangan” memilih pemimpin dari kalangan agama minoritas, atau dari suku di luar daerah tertentu, dan lain sebagainya. Tentunya fenomena “mayoritas-minoritas” ini sudah menjadi konsumsi melezatkan yang sejak lama selalu mewarnai semua jalannya pesta demokrasi di negara tercinta kita, Indonesia.
Karenanya maka jika harus mengatakan secara jujur dan apa adanya, istilah mayoritas-minoritas ini adalah sebuah pemahaman politik. Hal ini hanya bisa ditemukan melalui Pemilu dalam pesta demokrasi. Misalnya, sekarang ini PDI-P adalah mayoritas. Tetapi di lain waktu bisa saja partai lain yang menjadi mayoritas.
Mayoritas-Minoritas dalam Dikotomi
Dengan terus-menerus menonjolkan dikotomi dari istilah mayoritas-minoritas, maka secara tidak langsung, penduduk di sekat-sekat menurut ras, suku, agama, dll. Ini adalah sesuatu yang apartheid, dan karena itu tidak sehat dalam interaksi sebagai warga negara.
Kita semua dilindungi oleh konstitusi. Bukan yang mayoritas melindungi yang disebut minoritas. Sudah tentu jika kita makin dewasa di dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, maka kita semua akan tenggang rasa satu sama lain.
Tetapi tenggang rasa saja tidak cukup. Harus dibarengi dengan penegakan hukum yang berkeadilan sosial. Hal utama yang seharusnya dipahami adalah, bahwa pengertian minoritas-mayoritas itu relatif-subjektif. Misalnya saja di daerah A kelompok Anda bisa mayoritas, tetapi di daerah B bisa saja kelompok Anda menjadi minoritas.
Itulah persisnya konstelasi Indonesia. Seseorang yang beragama Kristiani sudah tentu menjadi mayoritas di Nusa Tenggara Timur (NTT), tetapi ia tentu akan menjadi kelompok minoritas di pulau Jawa. Sebaliknya, mereka yang beragama Islam akan menjadi mayoritas di Jawa, tetapi di NTT dan Papua mereka akan menjadi minoritas.
Hal lainnya bahwa pemahaman minoritas-mayoritas tidak hanya bisa terpaku pada jumlah penduduk saja, melainkan juga pada luas wilayah dan sumbangannya bagi bangsa ini dari segi hasil bumi dan kekayaan. Maka dalam hal ini Papua adalah mayoritas, sedangkan Jawa bisa saja minoritas.
Mayoritas-Minoritas dalam Negara
Berbicara soal “mayoritas” dan “minoritas”, hanya terdapat satu pertanyaan menggelitik yang dapat dijadikan rujukan untuk lebih dalam memahami hubungan dari keduanya.
Pertanyaannya, bagaimana memadukan antara kepentingan mayoritas yang sekaligus juga dapat melindungi hak-hak minoritas? Atau dengan meminjam istilah teoriawan politik dan sosial asal Norwegia, Jon Elster (1993), bahwa bagaimana kita membangun keseimbangan antara majority rule dan individual rights?
Jawaban untuk pertanyaan ini tidak mudah. Persoalan relasi mayoritas dan minoritas tidak cukup hanya berkutat pada salah satu diantara keduanya saja. Ia melibatkan dua hal penting, yaitu kesiapan kultur mayoritas sebagai subyek utama dan konstitusi negara.
Dalam negara demokrasi, istilah mayoritas dan minoritas seharusnya tidak ada. Namun antara ada dan tiada, maka ia selalu ada sebagaimana adanya!
Ya, hampir setiap hari di medan merdeka ini, selalu dikumandangkan hubungan mayoritas dan minoritas ini. Esensinya adalah agar mayoritas melakukan toleransi dan perlindungan terhadap minoritas, atau seruan bernada propokatif seperti pemusnahan dan pengkerdilan hak-hak kaum minoritas, dll.
Mayoritas dan minoritas di Indonesia ada dua bentuk. Ada mayoritas dan minoritas yang di lihat dari jumlah, ada mayoritas dan minoritas dari segi potensi dan peranan di Indonesia.
Biasanya jika menyebut mayoritas ditinjau dari segi populasi, maka artinya adalah pribumi. Sedangkan ditinjau dari segi keagamaan, maka yang dimaksudkan adalah umat Islam. Dan selebihnya dari itu disebut minoritas.
Sebagai bangsa yang terdiri dari banyak suku, agama, ras, dan adat istiadat, ragam kelompok minoritas di Indonesia dengan sendirinya juga beragam. Ada minoritas etnis, minoritas ras, minoritas agama, dsb. Bahkan di dalam kelompok agama sendiri, ada minoritas aliran atau madzhab, minoritas penganut kepercayaan, dan lain-lain.
Dari sekian banyaknya kelompok minoritas seperti disebutkan sebelumnya, keberadaan jenis minoritas agama adalah yang paling problematik, terutama terkait dengan kebebasan dalam beribadah sesuai agama dan keyakinan. masing-masing.
Dalam bentangan lingkaran sejarah bangsa dan negara Indonesia, keberadaan kelompok-kelompok minoritas sering mendapat perlakuan diskriminasi yang tidak adil. Meskipun secara konstitusional negara Indonesia memberi jaminan terhadap keberadaan kelompok minoritas. Tapi faktanya banyak kelompok yang tidak bebas dan bisa leluasa mengamalkan dan mengembangkan asas-asas agama dan keyakinan yang diyakininya.
Hingga hari ini, sejumlah tindakan penindasan dan kekerasan terhadap aktivitas beragama masih terus saja menghiasi wajah bopeng akibat benturan kaum mayoritas dan minoritas di medan merdeka ini. Ironisnya, munculnya perlakuan diskriminatif ini justru digerakkan oleh para Pemuka Agama yang notabene merupakan figura yang harus diguguhi dan diteladani. Tapi malah justru mendakwah kepada segelintir kelompok-kelompok mayoritas untuk memusuhi dan meminggirkan kelompok minoritas.
Perlakuan seperti ini terjadi dalam beberapa wujud seperti: klaim penyesatan dengan sebutan "kafir" terhadap aliran keagamaan dan kepercayaan lain, penutupan tempat-tempat ibadah, larangan mengembangkan dan mendakwahkan keyakinan, hingga pembatasan hak-hak politik dan akses ekonomi, dan lain sebagainya.
Salah satu kelompok minoritas yang akhir-akhir ini sering mengalami perlakuan diskriminatif dan kerap menjadi sasaran amuk masa kaum mayoritas adalah umat Kristiani. Di berbagai titik di Indonesia, keberadaan umat Kristiani memang terus terancam. Bukan hanya tidak bisa mengamalkan keyakinannya, umat Kristen tak sedikit yang terpaksa kehilangan harta, tempat tinggal dan sarana ibadah, bahkan nyawanya.
Harus dipahami, bahwa negara Indonesia bukan negara agama mayoritas, negara tidak mengakui salah satu agama mayoritas sebagai satu-satunya negara resmi. Indonesia juga bukanlah sebuah negara sekuler. Indonesia adalah negara yang berlandaskan pada falsafah Pancasila.
Semua ajaran agama dengan masing-masing pemeluknya, harus diperlakukan sama sebagai warga negara Indonesia. Tidak ada agama ekslusif yang harus lebih dominan dan diutamakan di republik ini. Karena itu, pemisahan urusan negara dengan urusan agama tidak otomatis akan menjadikan negara sebagai negara sekuler. Sebaliknya, keterlibatan negara dalam mengurus agama, juga tidak otomatis menjadikan negara sebagai sebuah negara agama.
Diskriminasi Oleh Mayoritas
Kehidupan berbangsa saat ini memang teramat sulit memaknai “kerukunan” dalam artinya yang sebenarnya. Seharusnya hidup dalam kerukunan dengan aneka macam perbedaan suku, budaya dan agama, adalah sesuatu yang indah. Sebab antara mayoritas dan minoritas bisa saling melengkapi satu dengan yang lainnya.
Meminjam Yewangoe (2011:32) bahwa, kerukunan tentu saja bukan masalah praksis semata-mata. Ia juga merupakan ungkapan dari keyakinan dan iman seseorang. Artinya, dengan mengimani dasar agamanya masing-masing, maka dalam praktik hidup berbangsa, kaum mayoritas dan kaum minoritas bisa saling menghargai, dan jauh dari kecurigaan dan diskriminasi yang berkepanjangan, sehingga terbentuklah kerukunan.
Namun sangat disayangkan, perlakuan diskriminatif sering dirasakan pemeluk agama minoritas (agama Kristen) di republik tercinta ini. Ini ditandai dengan maraknya perlakuan-perlakuan diskriminasi yang tentunya dilakukan agama mayoritas.
Beberapa diantaranya seperti disebutkan sebelumnya bahwa munculnya pemuka agama yang mendiskriminasi pemeluk agama lain dengan sebutan kafir, pembubaran ibadah umat, juga tragedi pemboman tempat-tempat ibadah, serta tindakan pelarangan dan pendirian, sekaligus penutupan rumah-rumah ibadah. Seperti nyata terlihat dalam kasus-kasus pemboman Gereja di Samarinda, pembubaran Ibadah di Sabuga Bandung pada tahun 2016 misalnya.
Tempat beribadah, memang salah satu tempat favorit yang menjadi sasaran amarah mayoritas. Dalam banyak kasus penutupan serta kasus penyegelan tempat ibadah, terkadang merembet pula kepada fasilitas lainnya, misalnya sekolah, sekretariat yayasan yang dianggap memiliki afiliasi terhadap agama tertentu, dll.
Tempat beribadah umat minoritas Kristen adalah yang paling sering mendapatkan perlakuan semacam ini. Penyebabnya bisa bermacam-macam. Mulai dari alasan izin pendirian tempat ibadah yang dinilai belum lengkap, ketiadaan persetujuan warga sekitar atas keberadaan tempat tersebut, hingga alasan lain seperti menganggu ketertiban umum. Alasan-alasan seperti ini justru tidak beralasan.
Munculnya ketegangan relasi antara mayoritas dan minoritas, sebenarnya terkait dengan pergeseran orientasi masyarakat dalam menyikapi perbedaan saja. Perbedaan masih dirasakan sebagai sesuatu yang menakutkan. Hal ini sebetulnya tidak lepas dari “politik penyeragaman” atau “politik homogenisasi” yang efektif dijalankan pada rezim Orde Baru (Orba), yaitu dengan sebisanya aneka perbedaan ditekan seminimal mungkin, dan dianggap sebagai sesuatu yang tabu untuk diperbincangkan lagi.
Politik SARA, adalah politik Orde Baru yang sangat efektif dalam menutup rapat perbincangan mengenai ‘perbedaan’ di masyarakat. Maka ketika rezim yang berkuasa tumbang, akhirnya masyarakat pun kurang siap mendialogkan dan mengelola perbedaan tersebut. Akibatnya, di sana-sini muncul keterkejutan berjamaah atas keragaman yang sejatinya telah ada sejak lama di sekitar mereka.
Mayoritas Islamisme
Munculnya penguatan identitas keagamaan Islam dalam beberapa tahun terakhir ini, juga menandai bangkitnya apa yang oleh Oliver Roy (1996, 2004) sebutkan sebagai “Islamisme”, yaitu sebuah gerakan yang kembali menguat terutama di daerah Timur Tengah dan yang segera meluas ke seluruh penjuru wilayah yang berpenduduk mayoritas Muslim.
Ada dua jenis atau tipe Islamisme: moderat dan liberal. Kelompok pertama, mengupayakan dan membela posisi Islam politik yang reformis. Sementara yang kedua, getol menggunakan cara-cara revolusioner untuk bisa menggulingkan rezim yang berkuasa dan menggantikan ideologi negara dengan ideologi Islam.
Bagi kelompok Islamis, lewat jalur aksi sosial dan politik secara bersamaan, masyarakat dapat diislamkan. Di negara Indonesia, jumlah kelompok ini terbilang kecil dibandingkan kelompok Muslim kultural. Tetapi militansi dan kreativitas dari aktivisnya dalam mengemas program serta kekuatan jaringan yang dimiliki, menjadikan kelompok Islamis sebagai sebuah kelompok gerakan keagamaan yang tak bisa diremehkan.
Sementara organisasi keagamaan yang tergolong lebih moderat, seperti misalnya NU dan Muhammadiyah, terkadang disibukkan pula oleh urusan internal organisasi dan kurang menawarkan inovasi-inovasi baru dalam dakwah. Keberadaan kelompok-kelompok Islamis ini akan semakin menguat ketika bergandengan tangan dengan para politisi yang ingin memanfaatkan isu-isu agama sebagai bagian dari upaya mendongkrak kepentingan partai politik.
Dalam pertarungan perpolitikan di tanah air, memang para politisi kerapkali menyeret agama untuk kepentingan mendulang suara. Dengan populasi lebih dari 80%, umat Islam merupakan massa riil yang diperebutkan oleh banyak partai-partai. Dan untuk meraih simpati, sentimen agama dan penggunaan isu-isu keagamaan menjadi daya pikat bagi para pemilih terutama pemilih pemula. Fenomena seperti ini dapat dengan mudah dijumpai pada maraknya kontestasi simbol-simbol agama di ruang publik.
Memang bukan suatu rahasia umum lagi, ketika para politikus doyan mengusung simbol-simbol agama. Seolah hal ini menjadi trend para politisi lokal maupun nasional dalam meraih simpatisan massa. Dalam kasus pemilihan kepala daerah misalnya, banyak sekali kandidat dan tim sukses yang mengusung simbol-simbol agama dalam kampanye mereka. Di sinilah problem minoritas kerap kali muncul. Karena secara kuantitas kecil, maka suara kelompok minoritas ini tidak diperhitungkan sama sekali.
Identitas Mayoritas Kedaerahan
Kontestasi simbol agama memang bukan hanya berkutat pada karakteristik Islam semata. Hal ini juga sangat tergantung pada kondisi dan karakteristik daerah masing-masing. Pada daerah-daerah di mana agama Islam sebagai mayoritas, maka isu-isu keislaman akan banyak ditonjolkan. Sementara pada daerah-daerah minoritas seperti di wilayah NTT atau Papua, di mana warga Kristen yang lebih dominan, maka identitas Kristen yang menonjol.
Demikian halnya ketika di Bali, maka simbol kehinduan yang mengemuka. Penguatan identitas keagamaan seperti ini terkadang bersaing dengan identitas etnis, isu pribumi (warga asli) dan non-pri (warga pendatang). Isu minoritas pendatang yang sukses dengan mayoritas pribumi yang tertindas juga kerap mengemuka pada momen-momen politik di daerah. Salah satu yang hangat akhir-akhir ini adalah upaya pencekalan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang terindikasi sebagai warga pendatang dan berasal dari agama minoritas.
Narasi-narasi masa lalu, baik yang berupa kejayaan pribumi maupun ketertindasan (grievances), selanjutnya sengaja dibangkitkan untuk mendukung dan menyatukan jumlah massa mayoritas yang sudah lama mengambang. Biasanya pemisahan masyarakat semacam ini, lebih efektif untuk bisa mengantarkan salah satu calon menuju puncak pimpinan. Perkembangan selanjutnya bisa di duga, tetap saja kelompok mayoritas akan menguasai, sementara minoritas hanya selalu tersubordinasi.
Tulisan ini diambil dari buku:
"esai-esai Keadilan untuk Ahok"
Yang berminat, kontak 081333343222 (WA)
Sesungguhnya dalam konstitusi Indonesia, hanya ada satu nomenklatur yang digunakan untuk menyatakan kesamaan dan kesetaraan, yaitu “warga negara” Indonesia. Artinya bahwa apapun bentuk status dan kedudukan sosial serta latarbelakang suku, agama, ras dan lain sebagainya, yang dimiliki oleh seseorang, maka kedudukannya sebagai warga negara juga “setara” dengan kedudukan orang-orang lain yang berada disekitarnya.
Fakta ini ingin menegaskan bahwa konstitusi negara kita tidak mengakui adanya penempatan atau pengelompokan perbedaan ukuran dalam jumlah takaran-takaran seperti: besar-kecil, tinggi-pendek, hitam-putih, bahkan mayoritas-minoritas.
Namun pemahaman akan kesetaraan warga negara ini, sepertinya selalu menjadi jajanan menggiurkan bagi segelintir elit politik dalam gelaran pesta demokrasi di republik kita tercinta. Sebut saja jargon-jargon kampanye yang berbunyi “larangan” memilih pemimpin dari kalangan agama minoritas, atau dari suku di luar daerah tertentu, dan lain sebagainya. Tentunya fenomena “mayoritas-minoritas” ini sudah menjadi konsumsi melezatkan yang sejak lama selalu mewarnai semua jalannya pesta demokrasi di negara tercinta kita, Indonesia.
Karenanya maka jika harus mengatakan secara jujur dan apa adanya, istilah mayoritas-minoritas ini adalah sebuah pemahaman politik. Hal ini hanya bisa ditemukan melalui Pemilu dalam pesta demokrasi. Misalnya, sekarang ini PDI-P adalah mayoritas. Tetapi di lain waktu bisa saja partai lain yang menjadi mayoritas.
Mayoritas-Minoritas dalam Dikotomi
Dengan terus-menerus menonjolkan dikotomi dari istilah mayoritas-minoritas, maka secara tidak langsung, penduduk di sekat-sekat menurut ras, suku, agama, dll. Ini adalah sesuatu yang apartheid, dan karena itu tidak sehat dalam interaksi sebagai warga negara.
Kita semua dilindungi oleh konstitusi. Bukan yang mayoritas melindungi yang disebut minoritas. Sudah tentu jika kita makin dewasa di dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, maka kita semua akan tenggang rasa satu sama lain.
Tetapi tenggang rasa saja tidak cukup. Harus dibarengi dengan penegakan hukum yang berkeadilan sosial. Hal utama yang seharusnya dipahami adalah, bahwa pengertian minoritas-mayoritas itu relatif-subjektif. Misalnya saja di daerah A kelompok Anda bisa mayoritas, tetapi di daerah B bisa saja kelompok Anda menjadi minoritas.
Itulah persisnya konstelasi Indonesia. Seseorang yang beragama Kristiani sudah tentu menjadi mayoritas di Nusa Tenggara Timur (NTT), tetapi ia tentu akan menjadi kelompok minoritas di pulau Jawa. Sebaliknya, mereka yang beragama Islam akan menjadi mayoritas di Jawa, tetapi di NTT dan Papua mereka akan menjadi minoritas.
Hal lainnya bahwa pemahaman minoritas-mayoritas tidak hanya bisa terpaku pada jumlah penduduk saja, melainkan juga pada luas wilayah dan sumbangannya bagi bangsa ini dari segi hasil bumi dan kekayaan. Maka dalam hal ini Papua adalah mayoritas, sedangkan Jawa bisa saja minoritas.
Mayoritas-Minoritas dalam Negara
Berbicara soal “mayoritas” dan “minoritas”, hanya terdapat satu pertanyaan menggelitik yang dapat dijadikan rujukan untuk lebih dalam memahami hubungan dari keduanya.
Pertanyaannya, bagaimana memadukan antara kepentingan mayoritas yang sekaligus juga dapat melindungi hak-hak minoritas? Atau dengan meminjam istilah teoriawan politik dan sosial asal Norwegia, Jon Elster (1993), bahwa bagaimana kita membangun keseimbangan antara majority rule dan individual rights?
Jawaban untuk pertanyaan ini tidak mudah. Persoalan relasi mayoritas dan minoritas tidak cukup hanya berkutat pada salah satu diantara keduanya saja. Ia melibatkan dua hal penting, yaitu kesiapan kultur mayoritas sebagai subyek utama dan konstitusi negara.
Dalam negara demokrasi, istilah mayoritas dan minoritas seharusnya tidak ada. Namun antara ada dan tiada, maka ia selalu ada sebagaimana adanya!
Ya, hampir setiap hari di medan merdeka ini, selalu dikumandangkan hubungan mayoritas dan minoritas ini. Esensinya adalah agar mayoritas melakukan toleransi dan perlindungan terhadap minoritas, atau seruan bernada propokatif seperti pemusnahan dan pengkerdilan hak-hak kaum minoritas, dll.
Mayoritas dan minoritas di Indonesia ada dua bentuk. Ada mayoritas dan minoritas yang di lihat dari jumlah, ada mayoritas dan minoritas dari segi potensi dan peranan di Indonesia.
Biasanya jika menyebut mayoritas ditinjau dari segi populasi, maka artinya adalah pribumi. Sedangkan ditinjau dari segi keagamaan, maka yang dimaksudkan adalah umat Islam. Dan selebihnya dari itu disebut minoritas.
Sebagai bangsa yang terdiri dari banyak suku, agama, ras, dan adat istiadat, ragam kelompok minoritas di Indonesia dengan sendirinya juga beragam. Ada minoritas etnis, minoritas ras, minoritas agama, dsb. Bahkan di dalam kelompok agama sendiri, ada minoritas aliran atau madzhab, minoritas penganut kepercayaan, dan lain-lain.
Dari sekian banyaknya kelompok minoritas seperti disebutkan sebelumnya, keberadaan jenis minoritas agama adalah yang paling problematik, terutama terkait dengan kebebasan dalam beribadah sesuai agama dan keyakinan. masing-masing.
Dalam bentangan lingkaran sejarah bangsa dan negara Indonesia, keberadaan kelompok-kelompok minoritas sering mendapat perlakuan diskriminasi yang tidak adil. Meskipun secara konstitusional negara Indonesia memberi jaminan terhadap keberadaan kelompok minoritas. Tapi faktanya banyak kelompok yang tidak bebas dan bisa leluasa mengamalkan dan mengembangkan asas-asas agama dan keyakinan yang diyakininya.
Hingga hari ini, sejumlah tindakan penindasan dan kekerasan terhadap aktivitas beragama masih terus saja menghiasi wajah bopeng akibat benturan kaum mayoritas dan minoritas di medan merdeka ini. Ironisnya, munculnya perlakuan diskriminatif ini justru digerakkan oleh para Pemuka Agama yang notabene merupakan figura yang harus diguguhi dan diteladani. Tapi malah justru mendakwah kepada segelintir kelompok-kelompok mayoritas untuk memusuhi dan meminggirkan kelompok minoritas.
Perlakuan seperti ini terjadi dalam beberapa wujud seperti: klaim penyesatan dengan sebutan "kafir" terhadap aliran keagamaan dan kepercayaan lain, penutupan tempat-tempat ibadah, larangan mengembangkan dan mendakwahkan keyakinan, hingga pembatasan hak-hak politik dan akses ekonomi, dan lain sebagainya.
Salah satu kelompok minoritas yang akhir-akhir ini sering mengalami perlakuan diskriminatif dan kerap menjadi sasaran amuk masa kaum mayoritas adalah umat Kristiani. Di berbagai titik di Indonesia, keberadaan umat Kristiani memang terus terancam. Bukan hanya tidak bisa mengamalkan keyakinannya, umat Kristen tak sedikit yang terpaksa kehilangan harta, tempat tinggal dan sarana ibadah, bahkan nyawanya.
Harus dipahami, bahwa negara Indonesia bukan negara agama mayoritas, negara tidak mengakui salah satu agama mayoritas sebagai satu-satunya negara resmi. Indonesia juga bukanlah sebuah negara sekuler. Indonesia adalah negara yang berlandaskan pada falsafah Pancasila.
Semua ajaran agama dengan masing-masing pemeluknya, harus diperlakukan sama sebagai warga negara Indonesia. Tidak ada agama ekslusif yang harus lebih dominan dan diutamakan di republik ini. Karena itu, pemisahan urusan negara dengan urusan agama tidak otomatis akan menjadikan negara sebagai negara sekuler. Sebaliknya, keterlibatan negara dalam mengurus agama, juga tidak otomatis menjadikan negara sebagai sebuah negara agama.
Diskriminasi Oleh Mayoritas
Kehidupan berbangsa saat ini memang teramat sulit memaknai “kerukunan” dalam artinya yang sebenarnya. Seharusnya hidup dalam kerukunan dengan aneka macam perbedaan suku, budaya dan agama, adalah sesuatu yang indah. Sebab antara mayoritas dan minoritas bisa saling melengkapi satu dengan yang lainnya.
Meminjam Yewangoe (2011:32) bahwa, kerukunan tentu saja bukan masalah praksis semata-mata. Ia juga merupakan ungkapan dari keyakinan dan iman seseorang. Artinya, dengan mengimani dasar agamanya masing-masing, maka dalam praktik hidup berbangsa, kaum mayoritas dan kaum minoritas bisa saling menghargai, dan jauh dari kecurigaan dan diskriminasi yang berkepanjangan, sehingga terbentuklah kerukunan.
Namun sangat disayangkan, perlakuan diskriminatif sering dirasakan pemeluk agama minoritas (agama Kristen) di republik tercinta ini. Ini ditandai dengan maraknya perlakuan-perlakuan diskriminasi yang tentunya dilakukan agama mayoritas.
Beberapa diantaranya seperti disebutkan sebelumnya bahwa munculnya pemuka agama yang mendiskriminasi pemeluk agama lain dengan sebutan kafir, pembubaran ibadah umat, juga tragedi pemboman tempat-tempat ibadah, serta tindakan pelarangan dan pendirian, sekaligus penutupan rumah-rumah ibadah. Seperti nyata terlihat dalam kasus-kasus pemboman Gereja di Samarinda, pembubaran Ibadah di Sabuga Bandung pada tahun 2016 misalnya.
Tempat beribadah, memang salah satu tempat favorit yang menjadi sasaran amarah mayoritas. Dalam banyak kasus penutupan serta kasus penyegelan tempat ibadah, terkadang merembet pula kepada fasilitas lainnya, misalnya sekolah, sekretariat yayasan yang dianggap memiliki afiliasi terhadap agama tertentu, dll.
Tempat beribadah umat minoritas Kristen adalah yang paling sering mendapatkan perlakuan semacam ini. Penyebabnya bisa bermacam-macam. Mulai dari alasan izin pendirian tempat ibadah yang dinilai belum lengkap, ketiadaan persetujuan warga sekitar atas keberadaan tempat tersebut, hingga alasan lain seperti menganggu ketertiban umum. Alasan-alasan seperti ini justru tidak beralasan.
Munculnya ketegangan relasi antara mayoritas dan minoritas, sebenarnya terkait dengan pergeseran orientasi masyarakat dalam menyikapi perbedaan saja. Perbedaan masih dirasakan sebagai sesuatu yang menakutkan. Hal ini sebetulnya tidak lepas dari “politik penyeragaman” atau “politik homogenisasi” yang efektif dijalankan pada rezim Orde Baru (Orba), yaitu dengan sebisanya aneka perbedaan ditekan seminimal mungkin, dan dianggap sebagai sesuatu yang tabu untuk diperbincangkan lagi.
Politik SARA, adalah politik Orde Baru yang sangat efektif dalam menutup rapat perbincangan mengenai ‘perbedaan’ di masyarakat. Maka ketika rezim yang berkuasa tumbang, akhirnya masyarakat pun kurang siap mendialogkan dan mengelola perbedaan tersebut. Akibatnya, di sana-sini muncul keterkejutan berjamaah atas keragaman yang sejatinya telah ada sejak lama di sekitar mereka.
Mayoritas Islamisme
Munculnya penguatan identitas keagamaan Islam dalam beberapa tahun terakhir ini, juga menandai bangkitnya apa yang oleh Oliver Roy (1996, 2004) sebutkan sebagai “Islamisme”, yaitu sebuah gerakan yang kembali menguat terutama di daerah Timur Tengah dan yang segera meluas ke seluruh penjuru wilayah yang berpenduduk mayoritas Muslim.
Ada dua jenis atau tipe Islamisme: moderat dan liberal. Kelompok pertama, mengupayakan dan membela posisi Islam politik yang reformis. Sementara yang kedua, getol menggunakan cara-cara revolusioner untuk bisa menggulingkan rezim yang berkuasa dan menggantikan ideologi negara dengan ideologi Islam.
Bagi kelompok Islamis, lewat jalur aksi sosial dan politik secara bersamaan, masyarakat dapat diislamkan. Di negara Indonesia, jumlah kelompok ini terbilang kecil dibandingkan kelompok Muslim kultural. Tetapi militansi dan kreativitas dari aktivisnya dalam mengemas program serta kekuatan jaringan yang dimiliki, menjadikan kelompok Islamis sebagai sebuah kelompok gerakan keagamaan yang tak bisa diremehkan.
Sementara organisasi keagamaan yang tergolong lebih moderat, seperti misalnya NU dan Muhammadiyah, terkadang disibukkan pula oleh urusan internal organisasi dan kurang menawarkan inovasi-inovasi baru dalam dakwah. Keberadaan kelompok-kelompok Islamis ini akan semakin menguat ketika bergandengan tangan dengan para politisi yang ingin memanfaatkan isu-isu agama sebagai bagian dari upaya mendongkrak kepentingan partai politik.
Dalam pertarungan perpolitikan di tanah air, memang para politisi kerapkali menyeret agama untuk kepentingan mendulang suara. Dengan populasi lebih dari 80%, umat Islam merupakan massa riil yang diperebutkan oleh banyak partai-partai. Dan untuk meraih simpati, sentimen agama dan penggunaan isu-isu keagamaan menjadi daya pikat bagi para pemilih terutama pemilih pemula. Fenomena seperti ini dapat dengan mudah dijumpai pada maraknya kontestasi simbol-simbol agama di ruang publik.
Memang bukan suatu rahasia umum lagi, ketika para politikus doyan mengusung simbol-simbol agama. Seolah hal ini menjadi trend para politisi lokal maupun nasional dalam meraih simpatisan massa. Dalam kasus pemilihan kepala daerah misalnya, banyak sekali kandidat dan tim sukses yang mengusung simbol-simbol agama dalam kampanye mereka. Di sinilah problem minoritas kerap kali muncul. Karena secara kuantitas kecil, maka suara kelompok minoritas ini tidak diperhitungkan sama sekali.
Identitas Mayoritas Kedaerahan
Kontestasi simbol agama memang bukan hanya berkutat pada karakteristik Islam semata. Hal ini juga sangat tergantung pada kondisi dan karakteristik daerah masing-masing. Pada daerah-daerah di mana agama Islam sebagai mayoritas, maka isu-isu keislaman akan banyak ditonjolkan. Sementara pada daerah-daerah minoritas seperti di wilayah NTT atau Papua, di mana warga Kristen yang lebih dominan, maka identitas Kristen yang menonjol.
Demikian halnya ketika di Bali, maka simbol kehinduan yang mengemuka. Penguatan identitas keagamaan seperti ini terkadang bersaing dengan identitas etnis, isu pribumi (warga asli) dan non-pri (warga pendatang). Isu minoritas pendatang yang sukses dengan mayoritas pribumi yang tertindas juga kerap mengemuka pada momen-momen politik di daerah. Salah satu yang hangat akhir-akhir ini adalah upaya pencekalan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang terindikasi sebagai warga pendatang dan berasal dari agama minoritas.
Narasi-narasi masa lalu, baik yang berupa kejayaan pribumi maupun ketertindasan (grievances), selanjutnya sengaja dibangkitkan untuk mendukung dan menyatukan jumlah massa mayoritas yang sudah lama mengambang. Biasanya pemisahan masyarakat semacam ini, lebih efektif untuk bisa mengantarkan salah satu calon menuju puncak pimpinan. Perkembangan selanjutnya bisa di duga, tetap saja kelompok mayoritas akan menguasai, sementara minoritas hanya selalu tersubordinasi.
Tulisan ini diambil dari buku:
"esai-esai Keadilan untuk Ahok"
Yang berminat, kontak 081333343222 (WA)