masukkan script iklan disini
Oleh: Abdy Busthan
Pendidikan pada dasarnya adalah humanisasi dan bukan dehumanisasi. Internalisasi nilai-nilai ke-agamaan dan moralitas kelembagaan dalam dunia pendidikan harus dapat terwujud dalam kehidupan nasionalis yang lebih humanis dan humaniora. hal ini tentu saja di maknai dengan asumsi dasar bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk baik secara etnis, budaya, dan agama.
Etnis yang ada di Indonesia tersebar secara geografis dalam ribuan pulau-pulau. Setiap etnis memiliki budayanya tersendiri yang berbeda dengan etnis yang lain, Hal ini disebut sebagai masyarakat yang "multikultural". Perbedaan etnis dalam realitas sejarah tidak menjadi hambatan dalam pembentukan negara Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Di pihak lain, realitas "multikultural" harus berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi kembali "kebudayaan nasional Indonesia" yang dapat menjadi "integrating force" yang mengikat seluruh keragaman etnis dan perbedaan dalam kebudayaan tersebut.
Perbedaan budaya merupakan sebuah konduksi dalam hubungan interpersonal, dimana dalam beberapa budaya, individu-individu yang berstatus tinggi biasanya yang memprakarsai, sementara individu yang statusnya rendah hanya menerima saja, sementara dalam budaya lain justru sebaliknya. Paling tidak ada tiga (3) kelompok sudut pandang yang biasa berkembang dalam menyikapi perbedaan identitas kaitannya dengan konflik yang sering muncul, yaitu :
Pertama, pandangan “Primordialis”. Kelompok ini menganggap, perbedaan-perbedaan yang berasal dari genetika seperti suku, ras (dan juga agama) merupakan sumber utama lahirnya benturan-benturan kepentingan etnis maupun agama.
Kedua, pandangan kaum “Instrumentalis”. Menurut mereka, suku, agama dan identitas yang lain dianggap sebagai alat yang digunakan individu atau kelompok untuk mengejar tujuan yang lebih besar, baik dalam bentuk meteril maupun non-materiil. Konsepsi ini lebih banyak digunakan oleh politisi dan para elit untuk mendapatkan dukungan dari kelompok identitas. Dengan meneriakkan "Agama" misalnya, diharapkan semua orang dengan Agama tertentu merapatkan barisan untuk mem-back up kepentingan politiknya. Oleh karena itu, dalam pandangan kaum instrumentalis, selama setiap orang mau mengalah dari prefence yang dikehendaki elit, selama itu pula benturan antar kelompok identitas dapat dihindari bahkan tidak terjadi.
Ketiga, kaum “Konstruktivis”, yang beranggapan bahwa identitas kelompok tidak bersifat kaku, sebagaimana yang dibayangkan kaum primordialis. Etnisitas, bagi kelompok ini, dapat diolah hingga membentuk jaringan relasi pergaulan sosial. Karenanya, etnisitas merupakan sumber kekayaan hakiki yang dimiliki manusia untuk saling mengenal dan memperkaya budaya. Bagi mereka, persamaan adalah anugerah dan perbedaan adalah berkah. Dalam konteks ini, multikulturalisme dan pendidikan multikultural berfungsi sebagai sarana membangun toleransi atas keragaman, Maksudnya adalah sebagai kajian untuk mengetahui corak, peluang dan tantangan pendidikan multikultural demi terciptanya kondisi pendidikan yang humanis di Indonesia.
Dalam proses pendidikan, baik formal maupun non formal pada dasarnya memiliki peran penting melegitimasi bahkan melanggengkan sistem dan struktur sosial yang ada, juga sebaliknya merupakan proses perubahan sosial yang lebih adil seadil-adilnya. Peran pendidikan terhadap sistem dan struktur sosial tersebut sangat bergantung pada paradigma pendidikan yang mendasarinya.
Tentu saja implikasinya terarah pada terciptanya suatu sistem pendidikan yang mampu mencerdaskan, memajukan kebudayaan nasional, membangun kesadaran kristis-transformatif, mentransendenkan komponen-komponen bangsa dengan basis modal sosial dari khazanah unsur-unsur universal kebudayaan aneka suku bangsa nusantara, membangun kemandirian bangsa dan jalan pembebasan bangsa dari belenggu penjara anasir-anasir komponen sejarah yang tak bermartabat. Dengan demikian, harapan akan lahirnya generasi pembebas jilid kedua sebagai kelompok golongan kritis, kaum terbaik bangsa yang akan berperan dalam membangun tegaknya masyarakat warga yang kuat dan berkeadaban, seperti dinubuatkan Fuad Hasan, Nurcholis Madjid, Pater Drost dan kawan-kawan dapat di tumbuhkan, mekarkan dan wujudkan.
Sejatinya, makna penting pendidikan telah menjadi kesadaran semua pihak pendidikan. Rasanya, tidak ada yang menafikan arti dan makna penting pendidikan. Hal ini dilandasi oleh sebuah dasar pemikiran bahwa pendidikan diyakini sebagai elemen paling substansial bagi proses transformasi dalam skala luas mulai transformasi-pengetahuan, transformasi nilai, hingga transformasi nilai kemasyarakatan. Hal ini berarti bahwa, melalui pendidikan semua bentuk transformasi tersebut akan berjalan dalam kerangka yang lebih efektif dan efisien sehingga diharapkan akan dapat mencapai tujuan sebagaimana yang diharapkan. Lewat pendidikan juga, akan terbangun beragam transformasi lain, termasuk juga dalam bidang kebudayaan.
Dalam konteks kehidupan sosial kultural modern, pendidikan bukan hanya sebagai institusi untuk mentransfer pengetahuan, tetapi juga sebagai institusi yang berdimensi sosial. Sebagai institusi sosial, pendidikan mempunyai kedudukan ganda : strategis dan kritis. Posisi strategis pendidikan, sebagaimana dikatakan Chirstopher J. Lucas, disebabkan pendidikan menyimpan suatu kekuatan yang luar biasa untuk menciptakan keseluruhan aspek lingkungan hidup.
Pendidikan harus dapat memberikan informasi yang paling berharga mengenai pegangan hidup dan masa depan di dunia, serta membantu anak didik dalam mempersiapkan kebutuhan yang esensial untuk menghadapi perubahan. Terkait dengan kedudukan strategis ini, sosiolog Emilie Durkheim menegaskan bahwa sesungguhnya: “ Pendidikan memegang kendali yang sangat penting dalam mempertahankan kelanggengan kehidupan sosial masyarakat, yaitu mampu hidup konsisten mengatasi segala bentuk ancaman dan tantangan masa depan ". Sedangkan kedudukan kritis pendidikan terletak pada posisinya sebagai bagian dari institusi sosial. Oleh karena itu pendidikan harus melakukan langkah adoptif dan adaptif.
Jika kedua langkah ini tidak dilakukan, yang terjadi kemudian adalah adanya kekhawatiran terhadap timbulnya kritisisme yang di tandai dengan muncul dan berkembangnya beberapa bentuk kesenjangan antara dunia pendidikan dan kehidupan. Implikasinya, terletak pada sejauh mana pemerintah dan stakholder pendidikan mencari strategi pendidikan yang paling cocok dalam mengembangkan dunia pendidikan, dengan berjuang untuk membangun struktur sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan dan masyarakat baru yang damai sejahtera. sesuai dengan konsep moral ke-agamaan yang hakiki yang kontekstual.
Namun kenyataan yang terlihat bahwa, praktek penyelenggaraan otonomi daerah di banyak tempat telah memicu ekslusivisme berbasis primordialisme, sehingga nasionalisme berasaskan kerakyatan masih sulit diwujudkan. Hal ini nampak pada pola relasi kuasa oligarkis kaum elit ekonomi, sosial, kekuasaan dan pejabat publik yang mendominasi berbagai ranah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara kita memiliki mental publik yang tak “cerdas”, meminjam logika filusuf Aristoteles dan Hegel, hal ini tentu dengan asumsi cerdas secara holistik, disamping cerdas intelligent juga cerdas moral, cerdas sosial, cerdas emosional, cerdas estetikal dan cerdas spiritual.
Ibarat pepatah "Hanya satu jalan menuju roma", tak ada jalan lain untuk memotong pola ‘karma’ dominatif oligarkis tersebut, kecuali dengan membangun sistem pendidikan yang bermartabat. Karna krisis kemanusiaan dan kebangsaan yang dihadapi bangsa Indonesia hingga kini belum dapat diatasi secara tuntas. Dimana, kondisi demikian diduga bermula dari apa yang dihasilkan oleh dunia pendidikan.
Pendidikanlah yang sesunguhnya paling besar kontribusinya terhadap situasi ini. Mereka yang telah melewati sistem pendidikan selama ini, mulai dari pendidikan dalam keluarga, lingkungan sekitar, dan pendidikan persekolahan, kurang memiliki pedoman perilaku dan nilai-nilai kehidupan yang memadai, serta tidak memiliki kemampuan mengelola konflik dan kekacauan, sehingga anak-anak muda dan remaja selalu menjadi korban konflik serta kekacauan .
Di lingkungan pendidikan, khususnya di sekolah-sekolah banyak terjadi penyimpangan nilai-nilai kemanusiaan dan kebangsaan, yang tentu saja menjadi tanggung jawab mata pelajaran Pendidkam Agama dan PKN, tetapi juga merupakan tanggung jawab seluruh mata pelajaran di sekolah. Jika pendidikan nilai tidak mendapat perhatian penuh (secara universal) dari guru agama, maka nilai-nilai kemanusiaan yang tumbuh hanya sebatas hafalan tentang doktrin-doktrin Agama. Pengetahuan tentang doktrin-doktrin dalam ajaran Agama juga sangat menjamin tumbuhnya nilai-nilai kemanusiaan yang dapat diandalkan. Nilai-nilai di atas tentu saja akan berkembang jika pendidikan itu bersifat humanis. Oleh sebab itu, untuk menciptakan pendidikan yang humanis diperlukan instrumen yang memadai dan keterlibatan seluruh civitas akademika pada lembaga pendidikan yang bersangkutan.
Dalam persepektif Pendidikan Agama Kristen (PAK) di tengah situasi bangsa Indonesia yang majemuk, sudah seharusnyalah Umat Kristen di Indonesia mengikis sentimen-sentiman primordial, yang membuat masyarakat terkotak-kotak karena ras, suku, agama dan aliran. Karena sentimen primordial merupakan penyakit yang menyebabkan kelesuan Iman Kristiani di tengah umat, serta menciptakan kondisi ketidakmampuan yang memberikan jawaban terhadap tantangan zaman, kecemburuan sosial dan sebagainya yang menghambat laju pembangunan ”.
Ini berarti bahwa, seluruh warga Gereja dan lembaga-lembaga Kristen beserta Guru PAK sebagai pendidik, membutuhkan dinamika dan motivasi ke-agamaan sebagai sumber inspirasi, untuk pengimplementasian Pendidikan Agama Kristen (PAK) di sekolah-sekolah sebagai upaya meletakkan dasar-dasar spritual, moral dan etik, dalam rangka pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila, demi tercapainya kemajuan dalam berbagai bidang. Hal ini tentu saja membutuhkan partisipasi nyata anggota Gereja dalam masyarakat khususnya pemuda-pemudi Kristen dalam meningkatkan keyakinan dan sikap, yang bersumber dari Yesus Kristus sang kepala Gereja.
PAK juga harus mampu melihat perkembangan masyarakat yang sangat dinamis serta masalah-masalah sosial yang dewasa ini terus berkembang dan membutuhkan perhatian dan kepekaan dari seluruh elemen bangsa, tidak hanya dari para pakar dan pemerhati masalah sosial namun juga dunia pendidikan yang berperan sangat strategis serta Gereja beserta sekolah sebagai lembaga Kristen yang berfungsi sebagai wahana dan “Agent of change” bagi masyarakat. Karena kondisi masyarakat Indonesia yang sangat plural baik dari aspek suku, ras, agama serta status sosial memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap perkembangan dan dinamika dalam masyarakat.
Mengingat, Sindrom primordialisme sudah menjamur kedalam Lembaga-lembaga Pendidikan formal dengan menggerogoti hakekat sistem pendidikan yang seutuhnya, di tandai dengan terlihatnya praktek-praktek kolusi, nepotisme dan korupsi dalam dunia pendidikan di indonesia, maka sudah saatnyalah untuk melakukan rekonstruksi secara universal !! hal ini dilakukan karena arogansi primordial adalah ancaman serius dalam perspektif kebangsaan.
Semakin menguatnya arogansi primordial ini tentu saja diakibatkan oleh "kegagalan" sistem pendidikan, tradisi, agama, dalam membentuk karakter sebuah bangsa yang beradab. Arogansi serupa juga secara langsung menjadi penantang pemerintah sendiri. Semestinya, negara Indonesia yang berlandaskan keberagaman suku dan budaya ini melakukan tindakan-tindakan nyata yang menyadarkan keberagaman bangsa akan pentingnya Bhineka Tunggal Ika, agar para anak bangsa dan generasi mudah tidak lagi terjebak pada pandangan sempit, picik, dan kedaerahan.
Singkatnya, upaya untuk membebaskan generasi muda dalam dunia pendidikan dari demoralisasi dan dekadensi prestasi belajar di sekolah harus segera diupayakan secara sistematis, programatis, integrated, dan berkesinambungan dalam kerangka pendidikan multikultural yang diselenggarakan melalui seluruh lembaga pendidikan baik formal, non formal, bahkan informal dalam masyarakat luas.
Untuk itu, dipandang sangat penting memberikan porsi pendidikan multikultural dalam sistem pendidikan di Indonesia baik melalui substansi maupun model pembelajaran. Tentu saja dengan cara memberikan pembekalan serta membantu perkembangan wawasan pemikiran dan kepribadian, juga melatih kepekaan peserta didik dalam menghadapi gejala-gejala dan masalah-masalah sosial yang terjadi pada lingkungan sekolah dan masyarakatnya. Secara konseptual, siswa membutuhkan pengajaran tentang nilai-nilai fundamental kemanusiaan, kebangsaan dan persatuan yang amat penting bagi kehidupan pribadi serta komunitas berbangsa dan bernegara, agar kaum muda tidak terkotak-kotak dalam budaya dan agama yang saling bertentangan yang dapat memecah kesatuan dan persatuan bangsa.
Karena itu, kemampuan untuk melakukan keputusan serta perasaan kemanusiaan dan kebangsaan ke dalam perilaku-perilaku nyata perlu dimunculkan dan dikembangkan dalam kehidupan bersama sehari-hari, yang tentu saja diperlukan suatu institusi pendidikan yang humanis dan memiliki kerangka aturan serta konstitusional inklusif, yang tidak berdasarkan pada pandangan satu golongan atau kelompok saja, melainkan yang dapat diterima oleh semua anggota dan sivitas akademika dari golongan atau kelompok manapun sebagai anggota institusi, sehingga mereka merasa sejahtera tanpa takut terancam identitas dan kekhasannya masing-masing.