-->

KRISTUS SANG PEMBEBAS

edukasi NET
Thursday, November 29, 2012, 5:56 AM WIB Last Updated 2021-04-04T16:35:44Z
masukkan script iklan disini
masukkan script iklan disini


“……… and this is the real liberation: Jesus Christ provides salvation for mankind to an ‘eternal liberation’ and has no end “ (Abdy Busthan)


Berita ‘pembebasan’ untuk pertama kalinya dideklarasikan di bumi ini adalah melalui kaum marjinal, yang sama sekali tidak diperhitungkan oleh masyarakat. Berita istimewa itu diperdengarkan dengan apa adanya, dalam nuansa kesederhanaan kaum papah, yang terwakilkan oleh para kawanan gembala domba di kota Bethlehem (Lukas 2:4). 

Demikian pesan ‘damai’ untuk pembebasan di bumi yang di kumandangkan dengan sukacita oleh bala Tentara Surga (Malaikat), kepada para gembala ternak, ketika mereka sedang menjaga kawanan dombanya. Dibawah hamparan langit malam nan sunyi, di temani indahnya cakrawala yang membentang, bersama semilirnya hembusan angin, yang semakin membawa suasana syahdu pada malam itu. 

Berita damai itu sekaligus pula menandai misi ‘pembebasan’ umat manusia yang ditandai oleh kedatangan Sang Pembebas umat manusia di kota Daud, dimana pemberitahuannya dimulai dari orang-orang yang terisisih, tertindas bahkan terlupakan pada masanya.

. …“Kemuliaan bagi Allah ditempat Yang Maha Tinggi dan damai sejahtera diantara manusia yang berkenan kepada-Nya” (Lukas 2:14) 

Itulah visi ’pembebasan’ yang dihadirkan Kristus sebagai Sang Pembebas sejati ke dalam dunia ini dalam bayang-bayang kekuasaan sang agresor ambisius, Kaisar Agustus yang sangat terkenal dengan kebijakan politik ’Pax Romana’ (Lukas 2:1). Ironisnya lagi, kebijakan Pax Romana ini dibangun dengan sangat kokoh diatas dasar sebuah ambisi dan kejahatan politik, serta oligarki untuk kepentingan sendiri dan kelompok tertentu.

Sebagaimana diketahui, bahwa Kaisar Agustus pernah melakukan ekspansi yang sangat besar, dengan didukung oleh agresi militernya ke Timur bahkan juga ke bagian Barat. Sehingga membuat daerah kekuasaannya lebih luas dari daerah Amerika Serikat, yakni seluas 3.340.000 mil persegi. 

Dan karena penaklukan yang dilakukannya itu, maka tercatat selama 200 tahun lamanya tidak pernah terjadi apa yang disebut peperangan. Sehingga akhirnya, sejarah mencatat suatu rekor baru, bahwa melalui kekuasaan Kaisar Agustus, terjadi kemakmuran, ketertiban dan kestabilan nasional yang begitu lama dan belum ada tandingannya hingga sekarang. (Will Durant, The Story Of Civilization, 1.232 “the longest period of prosperity ever known to mankind … the supreme achievement in the history of statesmanship”).

Meskipun kelahiran Yesus membawa kebebasan dan damai di bumi, namun disisi lain Alkitab juga mencatat dengan pasti bahwa damai dan kebebasan itu untuk pertama kalinya di rusak oleh politik teror. Atas mandat yang dikeluarkan oleh seorang Herodes Agung, maka semua anak laki-laki dibawah usia dua tahun, yang berada di daerah Bethlehem, haruslah di bunuh. 

Herodes adalah sang diktator ulung pada masanya, yang siap untuk melakukan apa saja demi kekuasaannya. Hal ini terbukti pada tiga putranya yang dihukum mati, ketika kedapatan olehnya berambisi untuk menjadi raja. 

Ketika di dengar oleh Herodes, tentang bayi Yesus Sang Pembebas yang lahir itu, maka Herodes dengan kemaksiatannya yang menggebu-gebu, sudah tidak memperdulikan lagi batas-batas kemanusiaan, hanya demi untuk meraih ambisi politiknya. Maka Ia pun mengeluarkan titah, dengan menitahkan agar semua anak laki-laki yang tidak berdosa itu, harus segera dimusnahkan saat itu juga dari muka bumi.

Lebih lanjut dikatakan bahwa kehadiran Yesus juga diawali dengan sebuah ‘penderitaan’, bahkan ‘kesengsaraan’ dibawah pemerintahan seorang Pontius Pilatus, sebagaimana yang tercantum dalam credo umat Kristiani. 

Bahwa pada tahun 26-36 masehi, Pontius Pilatus yang adalah seorang pragmatis, menjabat sebagai Gubernur Yudea, Samaria dan Idumea yang masih merupakan bagian wilayah kekuasaan kerajaan Roma. Kemudian sejarah mencatat dengan pasti, bahwa penguasa inilah yang akhirnya ‘melegalisir’ eksekusi penyaliban Kristus.

Ya, penyaliban Kristus murni cacat hukum!. Bahkan sengsara Yesus dalam konteks pemerintahan Pontius Pilatus, tidak apolitis, karena sang Pilatus apatis!. Dalam kerangka hukum roma yang mewakili hukum paling modern dan terbaik pada saat itu, Yesus tidak terjerat oleh hukum, bahkan bebas dari pelanggaran aturan-aturan apapun yang berlaku pada saat itu. Namun kerumunan masa yang diprovokasi oleh para pemuka-pemuka agama, akhirnya melakukan tekanan politik agar Pilatus menghukum Yesus (Karman,Yonky, 2011).

Semula sekelompok masa yang tanpa karakter mengelu-elukan Yesus, akhirnya berbalik arah dengan sangat beringasnya untuk menyalibkan Yesus. 

Agama pun tampil dengan topeng-topeng kemunafikannya, bahkan para Ahli-ahli agama dengan serta-merta ‘melacurkan’ sebuah kebenaran. Akhirnya, pemerintahan menjadi takluk dibawa arogansi sebuah tata ke-agama-an yang timbul akibat ‘kesombongan rohani’ dari para pemimpin-pemimpin agamanya.

Walaupun pada saat itu sang Pilatus mengaku didepan publik, dengan berkata “Aku tidak mendapati kesalahan apapun pada-Nya”, namun akhirnya sang Pilatus pun menegaskan otoritasnya, dengan sebuah perkataan nan lancang: …. “Tidakkah engkau tahu, aku berkuasa untuk membebaskan Engkau?”

Dan akhirnya, palu keadilan di tangan Pilatus bak sebuah ‘otoritarianisme’ dari sebuah Negara Leviatan dalam sepenggal ungkapan, yang pernah di ucapkan Thomas Hobes (1588-1679).

Demikian sang Pilatus, yang akhirnya lebih memilih suara rakyat yang tidak mewakili suara Tuhan. Dan inilah salah satu contoh gambaran penindasan, yang dilakukan oleh seorang penguasa kepada warganya.

Karena manusia sering hidup dalam kondisi yang tidak manusiawi, dan diperlakukan tidak secara manusiawi, maka kemanusiaannya pun mengalami degradasi. 

Tetapi Allah sangat mengasihi manusia. Allah sungguh memikirkan penderitaan manusia itu, sehingga lewat penjelmaan-Nya dalam rupa manusia, Allah yang “Have the power” dan “Virtue”, bahkan “Holiness” itu dengan rela merendahkan diri untuk datang ke dalam dunia ini, melalui Sang Juruselamat manusia, Yesus Kristus (The Savior).

Demikianlah, Yesus datang membawa kebebasan, Yesus datang membawa harapan, Yesus datang membawa terang, ditengah ketertindasan, ditengah keputusasaan, bahkan ditengah kegelapan. Yesus menjadi pembaharu kehidupan yang tidak ada tandingannya hingga saat ini. 

Bahkan dengan Kasih-Nya yang tulus dan tiada taranya itu, Yesus pun membuka akses perlindungan bagi mereka yang tertindas, bahkan bagi mereka yang viktrim kekerasan terstruktur.

... Verbum caro factum est, dan Firman itu telah menjadi manusia. Rahmat Allah seketika itu juga hadir dan termeterai dibumi lewat diri Yesus Kristus. Dimana setiap ‘kata’ dan ‘laku’- Nya sangat menguatkan yang lemah serta membebaskan yang terhimpit beban kehidupan, senasib dengan yang tersingkir (Karman Yonky, 2010:10). 

Akhirnya, rahmat yang telah menyelamatkan manusia telah nyata, dengan konsekuensi dari apa yang disebut moral (Titus 2:11-12) 

…… “Ia telah ada didunia, dan dunia dijadikan oleh-Nya, tetapi dunia tidak mengenal-Nya

Demikianlah sepenggal kalimat dalam Kitab Yohanes 1:10, menegaskan dengan pasti bahwa Anak manusia telah datang!. Namun dunia tidak mengenal-Nya. bahkan tak ada tempat bagi-Nya. Meskipun kedatangan-Nya untuk menyediakan tempat, bagi manusia.

Ho huios tou anthropou, Anak manusia datang dengan segala kesederhanaan-Nya, bermula dikandang domba yang hina, Dia dilahirkan, terbungkus kain lampin, tanpa kemewahan, tanpa kemegahan, bahkan tanpa aksesoris. 

Itulah kisah kelahiran Yesus Sang Pembebas umat manusia yang berdosa (Gal. 4:4; Lukas 2:7; Yohanes 1:46; Ibr. 2:9). Kelahiran-Nya menandakan satu hal, bahwa Dia tidak datang sebagai raja yang berkuasa atau manusia super, melainkan Dia datang sebagai bayi yang bergantung pada orang lain untuk kebutuhan phisiknya. (Matius 1:18-25 dan Lukas 2:1-20). 

Tidak seperti bayi lain pada umumnya, yang lahir di Betlehem. Pada malam itu, merupakan suatu “keunikan” dalam sepanjang sejarah. 

Yesus pun tidak diciptakan oleh ayah dan ibu manusia. Dia sudah mempunyai pra-kehidupan surgawi sebelumnya (Yohanes 1:1-3, 14). Karena Yesus adalah Allah, bahkan Pencipta alam semesta (Filipi 2:5-11). 

Inilah sebabnya mengapa istilah ‘natal’ sering disebutkan sebagai sebuah Penitisan (incarnation), yaitu sebuah kalimat yang artinya “dalam daging”. Tentu saja, faktanya terdapat dalam peristiwa kelahiran Yesus. Dan dalam keabadian itu, Pencipta dan Pembebas yang Maha Kuasa dan Maha Tahu itu datang ke dunia ini sebagai seorang insan manusia.

Akan menjadi sesuatu yang menarik disini untuk dikemukakan beberapa pertanyaan penting, mengapa Allah mau melakukan hal seperti itu? kenapa Ia mau datang sebagai bayi, dari pada muncul dalam suatu Kemuliaan dan Kekuatan? Kenapa membuat Dirinya sendiri sebagai manusia dan tinggal diantara kita, padahal Ia tahu bagaimana Ia akan diperlakukan nantinya?

Untuk memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan diatas, harus dipahami ketiga konteks, tentang kehadiran Sang Penebus--Yesus Kristus, dalam misi pembebasan-Nya bagi manusia dan dunia ini, yaitu: 1) Kelahiran-Nya, 2) Kematian-Nya, serta 3) Kebangkitan-Nya

Di dalam tujuan-Nya, Allah datang ke bumi melalui diri Yesus Kristus, adalah untuk menjadi domba persembahan sebagai pembayaran atas dosa-dosa manusia (Yohanes 1:29), dengan sebuah “keadaan” yang sederhana sepanjang hidup-Nya – kenyataannya tidak memiliki apapun, tidak memiliki kesejahteraan pisik, seringkali bergantung pada orang lain untuk makanan, minuman, dll. 

Kemudian, Alkitab mencatat, bagaimana cara masyarakat pada saat itu memperlakukan dan memperhatikan diri Yesus (Yes. 53; Mat. 26:59, 67; Maz. 22:6; Mat. 26:68), dalam jiwa-Nya (Maz. 22:1; Mat. 4:1-11; Lukas 22:44; Ibr. 2:17,18; 4:15), serta kematian-Nya (Lukas 23; Yohanes 19; Markus 15:24,25), dan kuburan-Nya di makam ‘pinjaman’ (Yes. 53:9; Mat. 27:57,58,60).

Dan timbullah penghinaan terhadap diri-Nya, yang merupakan implementasi dari maha karya ‘Kasih’ yang tak bekesudahan itu, yang melalui kualitas kerelaan-Nya. 

Dan inilah yang menjadi prinsip dan dasar yang penting dalam melaksanakan “pembebasan Kristus”, yaitu sebagai berikut:
  1. Tujuan Allah (Kis. 2:23,24; Maz. 40:6-8),
  2. Memenuhi kriteria dan nubuat Perjanjian Lama (types) (prophecies)
  3. Menjalani hukuman, dan membayar untuk kesalahan (Yes. 53; Ibr. 9:12,15),
  4. Menghasilkan “Pembebasan” bagi manusia yang berdosa melalui sebuah “Penebusan abadi” (redemption),
  5. Menunjukkan kepada manusia tentang hidup dan kehidupan (example)
Demikianlah Sang Pembebas dari Nazaret memulai kehidupan baru di dunia ini, dalam kesederhanaan yang hakiki, keterasingan, bahkan tersisih dan telupakan. 

Dia selalu mendeklarasikan diri-Nya dalam keterbatasan kemanusiaan-Nya, dalam penderitaan dan dalam penghinaan. Namun semuanya itu diterima-Nya dengan ketulusan. Sebab telah nyata, bahwa dalam penderitaan-Nya itu, termuat ‘kasih nan tulus’, yang tidak akan pernah dimiliki oleh siapapun juga di dunia ini. 

Ya, karena kasih Allah yang begitu besar kepada manusia ciptaan-Nya, sehingga Dia begitu merendahkan diri-Nya, demi kepentingan pembebasan manusia (Filipi 2:8), yang secara nyata dan terwujud dalam diri Kristus, dimana Allah digambarkan sebagai “Pemberi Kebebasan” dan Pembebas itu sendiri. 

Dalam Kitab Mazmur, pemazmur menyebut bahwa Tuhanlah yang memberikan kebebasan. “DikirimNya kebebasan kepada umatNya......”(Maz 11:9a). Tuhan jugalah yang mengerjakan Pembebasan umatnya dari belenggu penderitaan. “...yang menegakkan keadilan untuk orang-orang yang diperas, yang memberi roti kepada yang lapar. Tuhan membebaskan orang-orang yang terkurung” (Maz 146:7).

Maka disempurnakanlah pembebasan dari Allah, melalui diri Yesus Kristus, sebagaimana tertulis dengan sempurna dalam kitab Yohanes ….. “ Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal ” (Yohanes 3:16)

Dalam Perjanjian Baru (PB), kedatangan Kristus merupakan tanda dan bukti misi pembebasan Allah bagi umat manusia. “...untuk membebaskan orang-orang yang tertindas” (Luk 4:19). 

Dalam konteks Perjanjian Lama (PL), kebebasan banyak juga dihubungkan dengan bebas dari perbudakan. Dimana kerelaan untuk hidup dalam perbudakan dianggap sebagai dosa. Serta Allah memanggil manusia untuk hidup bebas. Murka Tuhan bangkit terhadap Bangsa Israel, karena di tengah tantangan-tantangan padang gurun, mereka ingin kembali ke Mesir (Bil 11:4-23; Kel 17:1-7).

Sedangkan dalam Perjanjian Baru, Rasul Paulus memperingatkan jemaat di Galatia supaya mereka mempertahankan kebebasan dari hukum Taurat yang dimenangkan bagi mereka oleh “Kristus”….“Supaya kita sungguh-sungguh merdeka, Kristus telah memerdekakan kita. Karena itu berdirilah teguh dan jangan mau lagi dikenakan kuk perhambaan” (Gal 5:1).

Maka kebebasan atau kemerdekaan merupakan karunia Tuhan bagi kehidupan orang-orang percaya yang harus direspon untuk tidak hidup didalam perhambaan dosa. Lebih jelas lagi Rasul Paulus mengingatkan: …… “saudara-saudara, memang kamu telah dipanggil untuk merdeka. Tetapi janganlah kamu mempergunakan kemerdekaanmu itu sebagai kesempatan untuk berbuat dosa, melainkan layanilah seorang akan yang lain oleh kasih.” (Gal 5:13).

Artinya, bahwa kebebasan orang Kristen bukanlah kebebasan untuk kebebasan, atau kebebasan tanpa syarat, tetapi kebebasan untuk tidak bebas berbuat dosa, atau kebebasan yang disertai tanggung jawab yaitu tanggung jawab untuk mengasihi sesama. 

Manusia diciptakan untuk hidup bebas dan kreatif, dalam hal ini bukan untuk menerima saja, tetapi untuk mengubah keadaannya, bukan untuk selalu menuruti tuntutan orang lain, tetapi untuk memilih sendiri. Untuk itu, Alkitab menegaskan bahwa, kebebasan sejati hanya terdapat dalam ketergantungan pada Allah. 

Kekristenan setuju dengan pandangan modern bahwa manusia diciptakan untuk kebebasan tetapi juga setuju dengan pandangan tradisional bahwa manusia perlu hidup dalam ketergantungan. Ia tidak dapat memerdekakan diri sendiri. Hanya Allah yang dapat menjamin kemerdekaan dalam pembebasannya.

Hak untuk bebas, sebenarnya sudah diberikan sejak manusia diciptakan dan ditempatkan di taman Eden, kebebasan telah menjadi milik manusia, (Adam dan Hawa), yang mana sesuai dengan mandat Allah. Namun kebebasan yang pada awalnya itu tetap saja merupakan kebebasan yang bersyarat. Di zaman pasca penebusan lewat pengorbanan Kristus, kebebasan itu tetap ada bahkan dibaharui dan dipulihkan. Manusia hidup sebagai hamba yang bebas, tetapi bukan hambanya siapa-siapa, melainkan hamba dari Kristus. 

Hal ini ditegaskan Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Korintus: …..“Adakah engkau hamba waktu engkau dipanggil? Itu tidak apa-apa! Tetapi jikalau engkau mendapat kesempatan untuk dibebaskan, pergunakanlah kesempatan itu. Sebab seorang hamba yang dipanggil oleh Tuhan dalam pelayanan-Nya, adalah orang bebas, milik Tuhan. Demikian pulaorang bebas yang dipanggil Kristus,adalah hamba-Nya. Kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar. Karena itu janganlah kamu menjadi hamba manusia. Saudara-saudara hendaklah tiap-tiap orang tinggal di hadapan Allah dalam keadaan seperti pada waktu ia dipanggil.” (I Kor 7:21-24).

Demikianlah maka kebebasan bagi orang Kristen adalah bebas melakukan sesuatu, tetapi dalam terang kehendak Tuhan Yesus Kristus Sang pemberi kebebasan itu. Ada beberapa asumsi dasar atau alasan “pembebasan” di dalam Kristus terjadi, yaitu:
  1. Allah mengerti ketidakmampuan manusia
  2. Dia sangat mengasihi manusia
  3. Sehingga Dia telah memberikan AnakNya sebagai ganti hukuman 
  4. Lalu, Tragedi Kematian Kristus adalah awal dari sebuah Pembebasan
Seperti telah ditegaskan di atas, bahwa Kelahiran, Kematian dan Kebangkitan Kristus merupakan pokok terpenting dari ‘pembebasan’, yaitu penebusan atas dosa manusia yang di imani bersama, serta dalam pembebasan oleh penjajahan ditanah perjanjian (konteks Perjanjian Lama).

Sosok Yesus adalah revolusioner bagi kaum tertindas, yang dalam perjuangan-Nya hingga menderita dikayu salib, adalah untuk kemerdekaan manusia dari keterpasungan, penindasan, kemiskinan, kebodohan, pelanggaran HAM, dan lain sebagainya.

Tentulah perjuangan Yesus untuk membebaskan manusia dari segala persoalan yang ada, adalah merupakan tanggungjawab manusia selanjutnya, yaitu dengan “mempertahankan” kemerdekaan atau pembebasan yang dihadirkan bagi semua ciptaan-Nya di dunia ini.

(Oleh: ABDY BUSTHAN)
Komentar

Tampilkan

Terkini

Slider

+