-->

Anak Autis (Autisme)

edukasi NET
Monday, September 16, 2019, 6:31 AM WIB Last Updated 2021-04-05T04:55:11Z
masukkan script iklan disini
masukkan script iklan disini


Istilah "autis" berasal dari kata “autistic” yang dalam bahasa Yunani adalah “autos” artinya self. Istilah ini digunakan untuk menjelaskan seseorang yang bersibuk diri dengan dunianya sehingga ia tidak lagi tertarik kepada orang lain 
(Busthan Abdy, 2018:188)

Anak autis memang seperti memiliki dunianya sendiri. Gangguan yang terjadi pada fungsi otak yang membawa anak autis mengalami masalah pada interaksi sosial timbal-balik, serta pada komunikasi dan pola tingkah laku yang repetitif (berulang), serta minat yang sempit (Busthan Abdy, 2018:ibid).

Dapat dikatakan bahwa anak autisme adalah jenis golongan ABK yang memiliki kelainan dalam perkembangan pada sistem sarafnya, yang kebanyakan diakibatkan oleh faktor "hereditas" dan kadang-kadang telah dapat di deteksi sejak bayi berusia 6 bulan. 

Intervensi Dini
Deteksi atau intervensi dini dan terapi sedini mungkin, akan menjadikan ABK autis lebih dapat menyesuaikan dirinya dengan anak yang normal. Identifikasi karakteristik pada anak autistik bisa dilakukan dengan melihat ciri-ciri yang khas pada anak, antara lain: kesulitan dalam interaksi dengan orang lain, hambatan dalam berbicara dan berkomunikasi, tingkah laku yang berulang, gangguan perilaku agresif dan hiperaktivitas, kelekatan dengan benda-benda, gangguan sensori, dan perkembangan yang tidak seimbang pada masa tumbuh kembangya.

Mengapa intervensi dini penting? Sebab intervensi dini akan mencakup bagaimana tindakan penanganan pada usia 0-3 tahun. Beberapa riset menunjukkan bahwa intervensi dini pada anak-anak autis ini, mempunyai pengaruh positif dalam mengurangi setiap gejala-gejala spektrum autisma. 

Penelitian membuktikan perkembangan otak pada anak usia dini sangat fleksibel, sehingga akan memungkinkan untuk menghasilkan kemajuan yang berarti, yang mempengaruhi pengembangan kemampuan kognitif, komunikasi, dan interaksi sosial anak ke depan menjadi lebih baik.

Kadang-kadang terapi harus dilakukan seumur hidup. Namun walaupun demikian, penderita autisme yang cukup cerdas, setelah mendapat terapi autisme sedini mungkin, seringkali dapat mengikuti Sekolah Umum, menjadi sarjana dan dapat bekerja memenuhi standar yang dibutuhkan. 

Disamping itu, pemahaman dari rekan selama bersekolah dan rekan sekerja seringkali juga dibutuhkan, misalnya tidak menyahut atau tidak memandang mata si pembicara, ketika diajak berbicara. Karakteristik yang menonjol pada seseorang yang mengidap kelainan ini adalah kesulitan dalam membina hubungan sosial, berkomunikasi secara normal, maupun memahami emosi serta perasaan orang lain.

Memahami Autisme
Autisme adalah salah satu gangguan perkembangan kelainan spektrum autisme atau Autism Spectrum Disorders (ASD) dan juga merupakan salah satu bagian dari lima jenis gangguan yang ada dalam payung Gangguan Perkembangan Pervasif atau Pervasive Development Disorder (PDD). 

Autisme bukan penyakit kejiwaan, karena merupakan gangguan yang hanya terjadi pada "otak" saja. Sehingga menyebabkan otak tidak dapat berfungsi selayaknya otak yang normal, dan hal ini juga termanifestasi pada perilaku penyandang autisme. Autisme adalah yang terberat di antara PDD (Sumber: Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas, 2014).

Gejala-gejala autisme dapat muncul pada anak mulai dari usia 30 bulan sejak kelahiran, hingga usia maksimal 3 tahun. Penderita autisme juga dapat mengalami masalah dalam belajar, komunikasi, dan berbahasa. 

Seorang dikatakan menderita autisme apabila ia mengalami satu atau lebih dari karakteristik seperti: kesulitan dalam berinteraksi sosial secara kualitatif, kesulitan dalam berkomunikasi secara kualitatif, dan menunjukkan perilaku yang repetitif, dan mengalami perkembangan yang terlambat atau tidak normal.

Karenanya, penderita autisme adalah golongan anak-anak yang mengalami gangguan perkembangan yang sangat kompleks. Setiap anak autis juga memiliki ciri-ciri berbeda. Sebagian anak dengan kondisi yang berat, menunjukkan ciri yang menyolok. 

Sementara yang lainnya (yang ringan) hanya menunjukkan beberapa ciri yang tidak terlalu terlihat. Sebagian anak autis juga membutuhkan penanganan individual, tetapi tergantung pula pada orang lain sampai ia menjadi dewasa. Sementara yang lainnya bisa belajar di sekolah umum dan mampu mandiri.

Rentang yang luas dari keadaan anak-anak penyandang autis dikenal dengan sebutan “Autistic Spectrum Disorder” (ASD). Dalam hal penanganan autisme, maka intensitas dari treatment perilaku anak autis, perlu diperhatikan. 

Namun persoalan-persoalan mendasar yang biasanya ditemukan di Indonesia, menjadi sangat krusial untuk di atasi terlebih dahulu, tanpa mengabaikan faktor-faktor lainnya.

Menurut Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas (2014), beberapa fakta yang dianggap relevan dengan persoalan penanganan masalah-masalah autism Indonesia, diantaranya adalah:

Pertama. Kurangnya tenaga terapis yang terlatih di Indonesia. Orang tua selalu menjadi pelopor dalam proses intervensi sehingga pada awalnya pusat-pusat intervensi bagi anak dengan autisme dibangun berdasarkan kepentingan keluarga untuk menjamin kelangsungan pendidikan anak mereka sendiri.

Kedua. Belum adanya petunjuk treatment yang formal di Indonesia. Tidak cukup dengan hanya mengimplementasikan petunjuk treatment dari luar yang penerapannya tidak selalu sesuai dengan kultur kehidupan anak-anak Indonesia.

Ketiga. Masih banyak kasus-kasus autisme yang tidak di deteksi secara dini sehingga ketika anak menjadi semakin besar, maka semakin kompleks pula persoalan intervensi yang dihadapi orang tua. Para ahli yang mampu mendiagnosa autisme, informasi mengenai gangguan dan karakteristik autism, serta lembaga-lembaga formal yang memberikan layanan pendidikan bagi anak dengan autism, juga belum tersebar secara merata di seluruh wilayah di Indonesia.

Keempat. Belum terpadunya setiap penyelenggaraan pendidikan bagi anak dengan autisme di sekolah. Dalam Pasal 4 UU Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sebenarnya telah diamanatkan dalam penekanan pendidikan yang demokratis dan tidak diskriminatif, yaitu menjunjung tinggi hak asasi manusia. Dukungan ini membuka peluang yang besar bagi para penyandang autisme untuk bisa masuk dalam sekolah-sekolah umum (inklusi) karena hampir 500 lebih sekolah Negeri yang juga diarahkan oleh pemerintah menyelenggarakan inklusi.

Kelima. Suatu permasalahan akhir yang tidak kalah pentingnya adalah minimnya pengetahuan, baik secara klinis maupun praktis, yang didukung dengan validitas data secara empirik (Empirically Validated Treatments/EVT) dari berbagai penanganan-penanganan masalah autisme di Indonesia. Studi dan penelitian autisme selain membutuhkan dana yang besar, juga harus didukung oleh validitas data empirik. Namun secara etis, tentunya tidak ada orang tua yang menginginkan anak mereka menjadi kelinci percobaan suatu metodologi tertentu. Kepastian jaminan bagi proses pendidikan anak, merupakan pertimbangan utama orang tua dalam memilih salah satu jenis treatment bagi anak mereka. Sehingga, bila keraguan ini dapat dijawab melalui otoritas-otoritas ilmiah, maka semakin terbuka pula informasi bagi masyarakat luas tentang pengetahuan-pengetahuan, baik yang bersifat klinis maupun praktis, yaitu dalam proses penanganan masalah autisme di Indonesia. 

Terapi anak autis kebanyakan bersifat tradisional dan telah teruji dari waktu ke waktu. Sementara terapi lainnya, mungkin baru. Tidak seperti pada gangguan perkembangan lainnya, tidak banyak petunjuk atau treatment yang telah dipublikasikan apalagi prosedur standar dalam menangani autisme.

Bagaimanapun juga, beberapa ahli sependapat bahwa terapi harus dimulai sejak awal dan harus diarahkan pada hambatan maupun keterlambatan yang secara umum dimiliki oleh setiap anak autis. Misalnya komunikasi dan persoalan-persolan perilaku. Treatment yang komprehensif umumnya meliputi: Terapi Wicara (Speech Therapy), Okupasi Terapi (Occupational Therapy) dan Applied Behavior Analisis (ABA), yaitu untuk mengubah serta memodifikasi perilaku, dll.

Namun perlu diketahui, bahwa tidak ada satupun jenis terapi yang dapat berhasil bagi semua anak autis. Terapi harus disesuaikan dengan kebutuhan anak autis itu sendiri, yaitu berdasarkan pada potensi, kekurangannya dan tentunya sesuai dengan minat anak itu sendiri.

Terapi haruslah dilakukan secara multidisiplin ilmu, misalnya menggunakan; okupasi terapi, terapi wicara, dan terapi perilaku sebagai basisnya. Tenaga ahli yang menangani anak autis, harus mampu mengarahkan pilihan-pilihannya terhadap berbagai jenis terapi yang ada saat ini. Sayangnya, tidak ada jaminan apakah terapi yang di pilih oleh orang tua maupun keluarga sungguh-sungguh akan berjalan efektif atau tidak. 

Jadi, sebaiknya tentukan salah satu jenis terapi dan laksanakan secara konsisten saja. Dan bila tidak terlihat perubahan atau kemajuan yang nyata selama 3 bulan, maka dapat melakukan perubahan terapi lagi.

Bimbingan serta setiap arahan yang diberikan harus dilaksanakan oleh orang tua secara konsisten. Bila terlihat kemajuan yang signifikan selama 3 bulan, maka bentuk intervensi lainnya dapat ditambahkan. Tetapi, haruslah tetap bersikap secara obyektif, dan selalu berkonsultasi dengan menanyakan kepada para ahli, bila terjadi perubahan-perubahan perilaku lainnya dalam diri anak yang menderita autis tersebut.


Rujukan Buku:
Busthan Abdy (2018). Pendidikan Berbasis Goblok (Hal 188-193). Kupang: Desna Life Ministry


Komentar

Tampilkan

Terkini

Slider

+