masukkan script iklan disini
ABK atau Anak Berkebutuhan Khusus perlu ditangani secara khusus. Sebab kebutuhan ABK tidak mungkin sama dengan kebutuhan umum dari anak yang normal.
Menurut Busthan Abdy (2018:194-196), beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk mendidik ABK adalah sebagai berikut ini.
Pengetahuan Khusus. Mengajar anak ABK tidak seperti membalik telapak tangan (tidak mudah). Mengingat dalam realitas, pengalaman dibeberapa tempat, kerapkali pihak sekolah selalu mengalami kendala dalam menangani ABK. Karenanya, salah satu hal penting yang dibutuhkan adalah pengetahuan dan keterampilan "khusus" untuk mampu menangani ABK, disamping pentingnya kerja sama dengan orang tua anak.
Memiliki Hati Mengasihi. Satu hal yang patut dimiliki guru untuk membantu tumbuh kembang serta mendidik ABK adalah "hati yang mengasihi". Hati yang mengasihi itulah kunci memahami kekurangan sesama. Tidak ada yang lebih kuat dan besar dari "hati yang mengasihi". Ketika seorang pendidik menggunakan hati yang mengasihi, maka akan hadir “passion” tersendiri saat mengajar ABK. Sehingga timbul semacam spirit untuk membimbing dan membantu mereka hingga bisa lebih baik, manusiawi, serta mandiri dalam memasuki jenjang pendidikan berikutnya.
Perhatian Khusus. Pada kebanyakan kasus, kebanyakan sekolah bukannya mencari solusi terbaik bagi penanganan ABK, namun sekolah cenderung mengabaikan keadaan sang anak yang memang membutuhkan "perhatian khusus". Misalnya, anak hiperaktif yang tak bisa diam, lalu di hukum dengan mengikat kakinya, karena ia terus berlari-lari; ada juga yang memberikan hukuman kepada mereka dengan duduk pada time-out chair (kursi isolasi) karena mereka dianggap mengganggu temannya. Padahal, dengan melakukan cara-cara begini, mereka hanya akan menjadi korban atas ketidakmengertian para guru dan pendidik saja. Sebenarnya, meski ABK berbeda dengan anak-anak normal lainnya, pada umumnya, penting bagi guru-guru dan para penyelenggara sekolah untuk memandang mereka selayaknya anak-anak yang khusus dan unik dari tiap-tiap individu. Sehingga ABK harus diberikan kasih sayang agar tidak ada bentuk penghukuman bagi ABK seperti contoh di atas lagi.
Identifikasi Kekhususan. Masalah mendasar lainnya adalah, bahwa kebanyakan pihak sekolah tidak mengubah sistemnya dengan membuka diri menjadi semacam preschool inklusi, yaitu sekolah yang siap menampung anak dengan kekhususan masing-masing. Artinya, ketika sekolah mau menerima ABK, maka sudah seharusnyalah sekolah itu memberlakukan pola pengajaran yang dapat mengakomodir "kekhususan" dari masing-masing ciri yang disandang oleh setiap ABK. Tapi sayangnya, kebanyakan pihak sekolah tidak mau mengambil tanggung jawab itu karena ketidakpahaman dalam membantu dan menata perilaku spesial anak ABK. Atas dasar kebutuhan itu, maka guru dan pendidik perlu mendalami dan memahami cara menangani ABK ini.
Intervensi Dini. Selain belajar identifikasi beragam keadaan kekhususan pada anak, mulai dari autis, hiperaktif, kesulitan belajar, gangguan koordinasi gerak, dll, maka perlu juga mempelajari pengetahuan tambahan dalam memahami "intervensi dini" dan psikologi ABK. Sebab mengerti psikologi ABK adalah hal penting untuk membantu mereka keluar dari perilaku yang berbeda dengan anak-anak lain. Misalnya, ketika melihat anak autis berusia 5 tahun masih minum melalui botol. Maka dengan hati yang mengasihi, guru bisa memperbolehkan anak itu untuk minum memakai botol, sembari membantunya dalam kelas, dengan mengajak untuk minum bersama dengan anak-anak lain yang sudah terbiasa minum memakai gelas. Karena dengan hukum pembiasaan (membiasakannya), maka otomatis dalam waktu yang tidak lama, anak autis tersebut pasti akan belajar minum memakai gelas, sebab dia melihat anak-anak yang lain tidak minum memakai botol.
Bermitra dengan Orang tua. Menangani ABK di sekolah juga penting melibatkan peran orang tua. Seperti dengan memanggil orang tua murid untuk berbicara membahas keadaan anak dan perkembangannya. Dengan cara demikian, maka guru akan mengetahui perkembangan-perkembangaan dalam diri anak, sebagai bekalnya mendidik dan menuntunnya. Satu kunci yang perlu disadari guru bahwa ketika berhadapan dengan orang tua siswa adalah dengan membantu orang tua melihat perkembangan dari "sisi positif" anak dan tidak melulu melihat keterbatasannya (sisi negatif).
Memadukan Terapi dan Kurikulum. Dalam menangani ABK, guru juga bisa memadukan pengajaran antara kurikulum pendidikan ABK dengan terapi anak berkebutuhan khusus. Agar dengan perpaduan kurikulum dan terapi ABK ini, maka dapat memudahkan pendidik dan pihak-pihak yang berkepentingan di dalamnya untuk mendidik dan memahami ABK.
Pengetahuan Khusus. Mengajar anak ABK tidak seperti membalik telapak tangan (tidak mudah). Mengingat dalam realitas, pengalaman dibeberapa tempat, kerapkali pihak sekolah selalu mengalami kendala dalam menangani ABK. Karenanya, salah satu hal penting yang dibutuhkan adalah pengetahuan dan keterampilan "khusus" untuk mampu menangani ABK, disamping pentingnya kerja sama dengan orang tua anak.
Memiliki Hati Mengasihi. Satu hal yang patut dimiliki guru untuk membantu tumbuh kembang serta mendidik ABK adalah "hati yang mengasihi". Hati yang mengasihi itulah kunci memahami kekurangan sesama. Tidak ada yang lebih kuat dan besar dari "hati yang mengasihi". Ketika seorang pendidik menggunakan hati yang mengasihi, maka akan hadir “passion” tersendiri saat mengajar ABK. Sehingga timbul semacam spirit untuk membimbing dan membantu mereka hingga bisa lebih baik, manusiawi, serta mandiri dalam memasuki jenjang pendidikan berikutnya.
Perhatian Khusus. Pada kebanyakan kasus, kebanyakan sekolah bukannya mencari solusi terbaik bagi penanganan ABK, namun sekolah cenderung mengabaikan keadaan sang anak yang memang membutuhkan "perhatian khusus". Misalnya, anak hiperaktif yang tak bisa diam, lalu di hukum dengan mengikat kakinya, karena ia terus berlari-lari; ada juga yang memberikan hukuman kepada mereka dengan duduk pada time-out chair (kursi isolasi) karena mereka dianggap mengganggu temannya. Padahal, dengan melakukan cara-cara begini, mereka hanya akan menjadi korban atas ketidakmengertian para guru dan pendidik saja. Sebenarnya, meski ABK berbeda dengan anak-anak normal lainnya, pada umumnya, penting bagi guru-guru dan para penyelenggara sekolah untuk memandang mereka selayaknya anak-anak yang khusus dan unik dari tiap-tiap individu. Sehingga ABK harus diberikan kasih sayang agar tidak ada bentuk penghukuman bagi ABK seperti contoh di atas lagi.
Identifikasi Kekhususan. Masalah mendasar lainnya adalah, bahwa kebanyakan pihak sekolah tidak mengubah sistemnya dengan membuka diri menjadi semacam preschool inklusi, yaitu sekolah yang siap menampung anak dengan kekhususan masing-masing. Artinya, ketika sekolah mau menerima ABK, maka sudah seharusnyalah sekolah itu memberlakukan pola pengajaran yang dapat mengakomodir "kekhususan" dari masing-masing ciri yang disandang oleh setiap ABK. Tapi sayangnya, kebanyakan pihak sekolah tidak mau mengambil tanggung jawab itu karena ketidakpahaman dalam membantu dan menata perilaku spesial anak ABK. Atas dasar kebutuhan itu, maka guru dan pendidik perlu mendalami dan memahami cara menangani ABK ini.
Intervensi Dini. Selain belajar identifikasi beragam keadaan kekhususan pada anak, mulai dari autis, hiperaktif, kesulitan belajar, gangguan koordinasi gerak, dll, maka perlu juga mempelajari pengetahuan tambahan dalam memahami "intervensi dini" dan psikologi ABK. Sebab mengerti psikologi ABK adalah hal penting untuk membantu mereka keluar dari perilaku yang berbeda dengan anak-anak lain. Misalnya, ketika melihat anak autis berusia 5 tahun masih minum melalui botol. Maka dengan hati yang mengasihi, guru bisa memperbolehkan anak itu untuk minum memakai botol, sembari membantunya dalam kelas, dengan mengajak untuk minum bersama dengan anak-anak lain yang sudah terbiasa minum memakai gelas. Karena dengan hukum pembiasaan (membiasakannya), maka otomatis dalam waktu yang tidak lama, anak autis tersebut pasti akan belajar minum memakai gelas, sebab dia melihat anak-anak yang lain tidak minum memakai botol.
Bermitra dengan Orang tua. Menangani ABK di sekolah juga penting melibatkan peran orang tua. Seperti dengan memanggil orang tua murid untuk berbicara membahas keadaan anak dan perkembangannya. Dengan cara demikian, maka guru akan mengetahui perkembangan-perkembangaan dalam diri anak, sebagai bekalnya mendidik dan menuntunnya. Satu kunci yang perlu disadari guru bahwa ketika berhadapan dengan orang tua siswa adalah dengan membantu orang tua melihat perkembangan dari "sisi positif" anak dan tidak melulu melihat keterbatasannya (sisi negatif).
Memadukan Terapi dan Kurikulum. Dalam menangani ABK, guru juga bisa memadukan pengajaran antara kurikulum pendidikan ABK dengan terapi anak berkebutuhan khusus. Agar dengan perpaduan kurikulum dan terapi ABK ini, maka dapat memudahkan pendidik dan pihak-pihak yang berkepentingan di dalamnya untuk mendidik dan memahami ABK.
(Oleh Abdy Busthan)
Rujukan Buku:
Busthan Abdy (2018). Pendidikan Berbasis Goblok (Hal 194-196). Kupang: Desna Life Ministry