masukkan script iklan disini
Menurut Busthan Abdy (2017:31-39), secara teoritis pendidikan humanistik dapat diklasifikasikan ke dalam 4 (empat) bentuk atau pendekatan yang berbeda-beda, yaitu sebagai berikut:
(1) Pendidikan Humanistik Klasik
Pendidikan humanistik pada pendekatan jenis ini disebutkan sebagai sesuatu yang klasik dan inheren, serta menyiratkan adanya kesempurnaan ideal manusia yang seharusnya menjadi model universal dan obyektif untuk mengatur pendidikan semua manusia, secara qua manusia.
Asal-usul bentuk humanistik ini dikarenakan kesalahan pendidikan zaman Athena kuno, terutama dalam ide-ide dari: Pericles, Socrates, Protagoras, Plato, Aristoteles dan Isocrates. Dan beberapa abad kemudian setelah itu, bangsa Romawi kemudian mendirikan studi humanitatis sebagai pendidikan normatif dan formatif bagi orang-orang bebas, yang bertujuan untuk budidaya penilaian yang baik dan akhlak mulia (renaissance).
Renaissance adalah suatu era pertama dimana orang menyebut diri mereka sebagai yang humanis. Dalam tekad humanis di sini untuk membebaskan diri dari kebodohan, dogmatisme, dan pengorbanan diri dari "zaman kegelapan" menuju jenis kebenaran, keindahan, kebebasan dan martabat yang bisa dihasilkan oleh studi manusia—yang jika benar, maka di budidayakan dan dilaksanakan.
Sehingga dasar pemikiran humanis ini juga yang kemudian mendirikan tema sentral dalam semua pendidikan humanistik klasik, yang selanjutnya diadopsi oleh Hutchins dan Adler, dengan menyatakan bahwa "tidak ada orang yang dianggap berpendidikan kecuali ia berkenalan dengan karya tradisi itu" dan bahwa.."cara terbaik untuk pendidikan liberal di Barat adalah melalui pekerjaan terbesar Barat yang telah menghasilkan".
Akhirnya dari masa pencerahan di akhir abad ke-20, yang ditandai dengan ide-ide para ahli seperti: Kant, Mill, Newman, Arnold, Babbit, Hutchins, Maritain, Libingston, Adler, Kirk dan penggagas pendidikan humanistik klasik lainnya, kemudian menghantarkan teori humanistik ini tampil dalam panggung pendidikan yang menjadikannya lebih egaliter, kritis dan liberal.
Seperti dimasukkan ke dalam kata-kata humanis renaissance dari seorang Pier Paolo Vergerio, yang menyatakan bahwa..“humanistic education includes ‘those studies by which we attain and practice virtue and wisdom; that education which calls forth, trains and develops those highest gifts of body and mind which ennoble man’..” (pendidikan humanistik dapat mencapai praktek kebajikan dan kebijaksanaan melalui pengembangan tertinggi dari tubuh dan pikiran yang memuliakan manusia).
(2) Pendidikan Humanistik Romantis
Bentuk kedua dari pendidikan humanistik yang paling umum dikenal adalah sebagai pendekatan romantis, naturalistik atau terapeutik. Muncul pertama kalinya di abad ke-18, dengan beberapa tulisan Rousseau yang pada saat itu muncul untuk menyalahkan beberapa hal, seperti: obsesi kemajuan budaya, pengetahuan ensiklopedis, pendidikan otoriter dan mengejar status sosial untuk penyakit masyarakat, juga untuk produksi yang terasing lainnya—directed dan kepribadian yang korup dari para borjuis saat itu.
Bentuk kedua dari pendidikan humanistik yang paling umum dikenal adalah sebagai pendekatan romantis, naturalistik atau terapeutik. Muncul pertama kalinya di abad ke-18, dengan beberapa tulisan Rousseau yang pada saat itu muncul untuk menyalahkan beberapa hal, seperti: obsesi kemajuan budaya, pengetahuan ensiklopedis, pendidikan otoriter dan mengejar status sosial untuk penyakit masyarakat, juga untuk produksi yang terasing lainnya—directed dan kepribadian yang korup dari para borjuis saat itu.
Dalam hal ini, Rousseau memperkenalkan konsepsi alternatif kehidupan yang baik yang ascribes kebaikan untuk kecenderungan alamiah manusia dan pengembangan mandiri latihan spontan dan lucu dari kekuatan alam, dan self-directedness serta keaslian pribadi (personal authenticity).
Menurut Rousseau (dalam Busthan Abdy, 2017:33), manusia yang baik harus memanifestasikan sentimen integrasi holistik dengan akal dan kepentingan pribadi demi kepentingan umum. Sehingga melalui pendapatnya ini, maka gambaran baru dari kebaikan manusia dan pendidikan naturalistik telah dihasilkan pada abad ke-19 hingga abad ke-20, yang kemudian ditandai dengan perubahan manifold dalam teori dan praktek pendidikan (a manifold change in educational theory and practice).
Sehingga dalam pemikiran pendidikan modern, para ahli seperti; Pestalozzi, Froebel, Dewey, Neill, Rogers, Maslow, Combs dan lain-lainnya, saat itu serentak diperhadapkan pada semua konsep “intuisi dasar” yang digagas Rousseau tersebut. Untuk hal ini, mereka kemudian menambahkan pengertian berdasarkan pendekatan mereka masing-masing, seperti pendekatan perawatan, pertumbuhan, aktualisasi diri, pemenuhan pribadi, self-regulation, kepercayaan, pengalaman, relevansi, keaslian, demokratis dan pedagogis—iklim semua kondisi pertumbuhan—yang mempromosikan untuk "tanaman yang masih muda" dalam proses yang terjadi terus-menerus dan yang menjadi aktualisasi diri.
Singkatnya bahwa, bentuk pendidikan humanistik romantis dapat dicirikan oleh premis mendasar yang terdapat di setiap orang darinya sebuah "sifat batin" atau "fixed self” (ketetapan diri—diri tetap) yang secara fundamental, baik dan unik, dan yang mendorong pengungkapan dan pengaktualisasian diri—sesuai dengan built-in code yang menuju kepada kehidupan yang sehat dan kemanusiaan penuh. Pendidikan yang benar, adalah yang berdasarkan hati yang sifatnya “drawing out” (menarik keluar) dengan penuh perhatian aktualisasi dari sifat batin setiap individu
Menurut Rousseau (dalam Busthan Abdy, 2017:33), manusia yang baik harus memanifestasikan sentimen integrasi holistik dengan akal dan kepentingan pribadi demi kepentingan umum. Sehingga melalui pendapatnya ini, maka gambaran baru dari kebaikan manusia dan pendidikan naturalistik telah dihasilkan pada abad ke-19 hingga abad ke-20, yang kemudian ditandai dengan perubahan manifold dalam teori dan praktek pendidikan (a manifold change in educational theory and practice).
Sehingga dalam pemikiran pendidikan modern, para ahli seperti; Pestalozzi, Froebel, Dewey, Neill, Rogers, Maslow, Combs dan lain-lainnya, saat itu serentak diperhadapkan pada semua konsep “intuisi dasar” yang digagas Rousseau tersebut. Untuk hal ini, mereka kemudian menambahkan pengertian berdasarkan pendekatan mereka masing-masing, seperti pendekatan perawatan, pertumbuhan, aktualisasi diri, pemenuhan pribadi, self-regulation, kepercayaan, pengalaman, relevansi, keaslian, demokratis dan pedagogis—iklim semua kondisi pertumbuhan—yang mempromosikan untuk "tanaman yang masih muda" dalam proses yang terjadi terus-menerus dan yang menjadi aktualisasi diri.
Singkatnya bahwa, bentuk pendidikan humanistik romantis dapat dicirikan oleh premis mendasar yang terdapat di setiap orang darinya sebuah "sifat batin" atau "fixed self” (ketetapan diri—diri tetap) yang secara fundamental, baik dan unik, dan yang mendorong pengungkapan dan pengaktualisasian diri—sesuai dengan built-in code yang menuju kepada kehidupan yang sehat dan kemanusiaan penuh. Pendidikan yang benar, adalah yang berdasarkan hati yang sifatnya “drawing out” (menarik keluar) dengan penuh perhatian aktualisasi dari sifat batin setiap individu
(3) Pendidikan Humanistik Eksistensialis
Bentuk ketiga pendidikan humanistik adalah eksistensialis, terutama berdasarkan wawasan filosofis dari para ahli, seperti: Kierkegaard, Nietzsche, Heidegger, Jaspers, Sartre, Camus dan Buber. Para pendidik Existenialist saat itu menolak gagasan klasik manusia sebagai "makhluk rasional" serta tidak sepakat dengan asumsi romantis yang terdapat di setiap orang dari diri manusia sebuah "sifat batin" atau "diri tetap" yang secara fundamental baik dan unik. Alternatif yang diajukan oleh kebanyakan eksistensialis pada saat itu adalah, karena esensi manusia adalah kebebasan—yaitu dalam hal bahwa nilai-nilai manusia dapat naik banding ke otoritas eksternal, baik alami atau supernatural—dan karena itu, manusia ditakdirkan untuk memilih, menentukan, serta menciptakan diri mereka sendiri sebagai kondisi yang benar—karena itu bertanggung jawab untuk menuliskan identitas mereka.
Seperti Sartre mengatakan, dalam “The Humanisme Eksistensialisme”, bahwa: “..manusia tidak lain apa yang membuat dirinya”..; dan otentik dengan kehidupan manusia, oleh karena itu, menunjukkan rasa kepedulian diri yang akud dan penerimaan kebebasan serta tanggung jawabnya untuk menjadi “dia” yang pada akhirnya “dia” menjadi jenis orang—“manusia”.
Dalam terang wawasan filosofis dan moral, pendidik humanistik eksistensialis berusaha untuk memanusiakan siswa dengan mendesak mereka untuk mengejar kebenaran—tidak dengan utamanya hanya pada realisasi diri saja—tetapi lebih kepada usaha terus-menerus dalam memilih bentuk dan menciptakan identitas mereka pada kehidupan, yaitu sebagai suatu proyek—memperbesar rasa kebebasan dan tanggung jawab untuk suatu makna, nilai dan peristiwa yang merupakan bagian dari masyarakat serta alam pribadi kehidupan mereka masing-masing.
Bentuk ketiga pendidikan humanistik adalah eksistensialis, terutama berdasarkan wawasan filosofis dari para ahli, seperti: Kierkegaard, Nietzsche, Heidegger, Jaspers, Sartre, Camus dan Buber. Para pendidik Existenialist saat itu menolak gagasan klasik manusia sebagai "makhluk rasional" serta tidak sepakat dengan asumsi romantis yang terdapat di setiap orang dari diri manusia sebuah "sifat batin" atau "diri tetap" yang secara fundamental baik dan unik. Alternatif yang diajukan oleh kebanyakan eksistensialis pada saat itu adalah, karena esensi manusia adalah kebebasan—yaitu dalam hal bahwa nilai-nilai manusia dapat naik banding ke otoritas eksternal, baik alami atau supernatural—dan karena itu, manusia ditakdirkan untuk memilih, menentukan, serta menciptakan diri mereka sendiri sebagai kondisi yang benar—karena itu bertanggung jawab untuk menuliskan identitas mereka.
Seperti Sartre mengatakan, dalam “The Humanisme Eksistensialisme”, bahwa: “..manusia tidak lain apa yang membuat dirinya”..; dan otentik dengan kehidupan manusia, oleh karena itu, menunjukkan rasa kepedulian diri yang akud dan penerimaan kebebasan serta tanggung jawabnya untuk menjadi “dia” yang pada akhirnya “dia” menjadi jenis orang—“manusia”.
Dalam terang wawasan filosofis dan moral, pendidik humanistik eksistensialis berusaha untuk memanusiakan siswa dengan mendesak mereka untuk mengejar kebenaran—tidak dengan utamanya hanya pada realisasi diri saja—tetapi lebih kepada usaha terus-menerus dalam memilih bentuk dan menciptakan identitas mereka pada kehidupan, yaitu sebagai suatu proyek—memperbesar rasa kebebasan dan tanggung jawab untuk suatu makna, nilai dan peristiwa yang merupakan bagian dari masyarakat serta alam pribadi kehidupan mereka masing-masing.
(4) Pendidikan Humanistik Radikal/Pedagogis
Bentuk keempat pendidikan humanistik adalah yang paling sering diidentikkan dengan Radical Education or Critical Pedagogy, yaitu “Pendidikan Radikal” atau “Pedagogi Kritis” dengan beberapa teori-teori pedagogis dari para ahli, seperti: teori Paolo Freire, Apple, Giroux, Simon dan Kozol. Dalam sudut pandang ini, ditekankan untuk mempertimbangkan beberapa hal, seperti: isu-isu pendidikan independen dari konteks budaya, sosial dan ekonomi yang lebih besar melibatkan baik ketidaktahuan serius atau sinis, jika tidak kriminal ataupun penipuan.
Sehingga, dilakukan usaha untuk memperjuangkan hak-hak kaum tertindas yang mengalami kemiskinan, kriminalitas, tunawisma, kecanduan narkoba, perang, krisis ekologi, bunuh diri, buta huruf, diskriminasi terhadap perempuan dan etnis minoritas, kesadaran teknokratis dan disintegrasi masyarakat dan keluarga, serta isu yang menjadi masalah yang paling mendesak dalam fakta kehidupan, yang efek langsungnya terhadap perkembangan fisik, emosional, intelektual, dan moral dari sebagian besar anak-anak dalam budaya masyarakat pada saat itu.
Oleh karena itu, pendidik radikal berpendapat, bahwa: "pedagogi harus menjadi lebih politik dan politik yang lebih pedagogis". Tentu saja ini berarti, bahwa tiga perubahan besar harus dilakukan dalam sistem pendidikan di masyarakat, seperti dijelaskan berikut ini:
Pertama. Hal ini membutuhkan pemahaman bahwa wacana pendidikan, kebijakan dan praktek, berhubungan langsung dengan pengertian daya, perjuangan, kelas, gender, perlawanan, dan kemungkinan keadilan sosial.
Kedua. Guru memiliki tujuan untuk membebaskan dan memberdayakan siswa kepada jenis kesadaran kritis, dan titik tegas cara pandang yang memungkinkan orang untuk mendapatkan kontrol atas hidup mereka.
Ketiga. Guru seperti sepenggal kalimat dari Giroux, bahwa..”Akan berjuang secara intelektual kolektif sebagai transformatif... untuk membuat sekolah umum ruang publik yang demokratis, di mana semua anak, terlepas dari ras, kelas, gender dan usia, bisa belajar apa artinya untuk dapat berpartisipasi secara penuh dalam perjuangan terus-menerus untuk membuat media demokrasi melalui mana mereka memperluas potensi dan kemungkinan apa artinya menjadi manusia dan tinggal di masyarakat yang adil”.
Meskipun terdapat perbedaan diantara keempat bentuk pendidikan humanistik di atas, namun dalam proyek-proyek pendidikan humanis, kebanyakan dari para ahli teori humanisasi ini menerima titik berangkat dari seorang Whitehead, yang menegaskan bahwa: "hanya ada satu subjek—materi untuk pendidikan, dan itu adalah hidup dalam segala manifestasinya".
Bentuk keempat pendidikan humanistik adalah yang paling sering diidentikkan dengan Radical Education or Critical Pedagogy, yaitu “Pendidikan Radikal” atau “Pedagogi Kritis” dengan beberapa teori-teori pedagogis dari para ahli, seperti: teori Paolo Freire, Apple, Giroux, Simon dan Kozol. Dalam sudut pandang ini, ditekankan untuk mempertimbangkan beberapa hal, seperti: isu-isu pendidikan independen dari konteks budaya, sosial dan ekonomi yang lebih besar melibatkan baik ketidaktahuan serius atau sinis, jika tidak kriminal ataupun penipuan.
Sehingga, dilakukan usaha untuk memperjuangkan hak-hak kaum tertindas yang mengalami kemiskinan, kriminalitas, tunawisma, kecanduan narkoba, perang, krisis ekologi, bunuh diri, buta huruf, diskriminasi terhadap perempuan dan etnis minoritas, kesadaran teknokratis dan disintegrasi masyarakat dan keluarga, serta isu yang menjadi masalah yang paling mendesak dalam fakta kehidupan, yang efek langsungnya terhadap perkembangan fisik, emosional, intelektual, dan moral dari sebagian besar anak-anak dalam budaya masyarakat pada saat itu.
Oleh karena itu, pendidik radikal berpendapat, bahwa: "pedagogi harus menjadi lebih politik dan politik yang lebih pedagogis". Tentu saja ini berarti, bahwa tiga perubahan besar harus dilakukan dalam sistem pendidikan di masyarakat, seperti dijelaskan berikut ini:
Pertama. Hal ini membutuhkan pemahaman bahwa wacana pendidikan, kebijakan dan praktek, berhubungan langsung dengan pengertian daya, perjuangan, kelas, gender, perlawanan, dan kemungkinan keadilan sosial.
Kedua. Guru memiliki tujuan untuk membebaskan dan memberdayakan siswa kepada jenis kesadaran kritis, dan titik tegas cara pandang yang memungkinkan orang untuk mendapatkan kontrol atas hidup mereka.
Ketiga. Guru seperti sepenggal kalimat dari Giroux, bahwa..”Akan berjuang secara intelektual kolektif sebagai transformatif... untuk membuat sekolah umum ruang publik yang demokratis, di mana semua anak, terlepas dari ras, kelas, gender dan usia, bisa belajar apa artinya untuk dapat berpartisipasi secara penuh dalam perjuangan terus-menerus untuk membuat media demokrasi melalui mana mereka memperluas potensi dan kemungkinan apa artinya menjadi manusia dan tinggal di masyarakat yang adil”.
Meskipun terdapat perbedaan diantara keempat bentuk pendidikan humanistik di atas, namun dalam proyek-proyek pendidikan humanis, kebanyakan dari para ahli teori humanisasi ini menerima titik berangkat dari seorang Whitehead, yang menegaskan bahwa: "hanya ada satu subjek—materi untuk pendidikan, dan itu adalah hidup dalam segala manifestasinya".
Sehingga berdasarkan apa yang ditegaskan Whitehead tersebut, maka usaha pendidikan humanistik tidak kurang dari upayanya untuk memberdayakan dan membimbing individu dalam menjalani hidup yang vital, yaitu yang di tandai dengan berkembangnya kesadaran penuh dan musyawarah yang bijaksana, perilaku moral dan keterlibatan politik, keterlibatan otentik dalam hidup, dan yang dapat pula membedakan apresiasi keindahan di alam dan seni.
Untuk hal ini, maka para pendidik humanistik harus berusaha untuk mengarahkan siswa menjadi baik dengan kebulatan tekad dan integral yang berbudaya, sehingga nantinya dapat diwujudkan oleh siswa tersebut, tidak hanya dalam keleluasan siswa itu belajar, tetapi juga dalam “pemanfaatan” ilmunya dari hasil belajar yang dilakukannya itu, agar siswa menjadi insan pendidikan yang bijaksana dan bertanggungjawab penuh dalam pengetahuannya.
Guru atau pendidik diibaratkan sebagai "pohon pengetahuan" yang akan berfungsi sebagai sesuatu yang bergizi yang diserap oleh pelajar atau siswanya dan menjadi "pohon hidup" yang ideal.
Untuk hal ini, maka para pendidik humanistik harus berusaha untuk mengarahkan siswa menjadi baik dengan kebulatan tekad dan integral yang berbudaya, sehingga nantinya dapat diwujudkan oleh siswa tersebut, tidak hanya dalam keleluasan siswa itu belajar, tetapi juga dalam “pemanfaatan” ilmunya dari hasil belajar yang dilakukannya itu, agar siswa menjadi insan pendidikan yang bijaksana dan bertanggungjawab penuh dalam pengetahuannya.
Guru atau pendidik diibaratkan sebagai "pohon pengetahuan" yang akan berfungsi sebagai sesuatu yang bergizi yang diserap oleh pelajar atau siswanya dan menjadi "pohon hidup" yang ideal.
Dengan demikian pencapaian integrasi dari pelaku belajar—siswa dan guru—dapat menempatkan “integrasi’ tersebut pada tempat yang tepat, khususnya dalam menimalisir dengan tepat ketegangan yang terjadi antara komitmen terhadap standar budaya yang tinggi dan rasa yang kuat dalam individualitas, baik itu dalam bentuk otonomi dan keasliannya.
Untuk mencapai semua tujuan yang diharapkan, guru yang benar-benar humanistik dapat mengambil tanggungjawab dengan memberi contoh pribadi dalam seni hidup serta untuk menciptakan kondisi bagi siswanya suasana pedagogis di sekolah seperti suasana pedagogis, kepercayaan, dukungan, dialog, penghormatan, keadilan, toleransi, penyelidikan, kebebasan, komitmen, tanggung jawab dan timbal baliknya.
Untuk mencapai semua tujuan yang diharapkan, guru yang benar-benar humanistik dapat mengambil tanggungjawab dengan memberi contoh pribadi dalam seni hidup serta untuk menciptakan kondisi bagi siswanya suasana pedagogis di sekolah seperti suasana pedagogis, kepercayaan, dukungan, dialog, penghormatan, keadilan, toleransi, penyelidikan, kebebasan, komitmen, tanggung jawab dan timbal baliknya.
Seperti yang di ungkapkan Nimrod (1999), bahwa ...“Without these last elements, even the most beautifully woven theory of humanistic education would fail to become a lived reality for its teachers and students”—bahwa tanpa unsur-unsur yang disebutkan diatas, bahkan tenun teori pendidikan humanistik yang paling indah sekalipun akan gagal untuk menjadi kenyataan hidup bagi guru dan siswa.
Rujukan Buku:
Busthan Abdy (2017). Teori Belajar Humanistik: Maslow, Dewey, Rogers, Fromm (Hal.31-39). Kupang: Desna Life Ministry