masukkan script iklan disini
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengarkan kata 'goblok' disebutkan. Entah kata ini ditujukan kepada orang lain, ataukah kepada diri kita sendiri. Singkatnya kata ini sedikitnya bertendensi negatif.
Sikap Pertama. Ada siswa yang ketika mendapatkan tekanan, ia justru menjadikan tekanan itu sebagai acuan untuk menjadi lebih baik. Dia akan berusaha semampunya untuk keluar dari sona nyamannya, dan menghadapi setiap tekanan dan kesulitan dengan jujur dan apa adanya.
Sikap kedua. Namun ada pula siswa yang tidak mampu menghadapi tekanan ini dengan sendiri, apalagi jika tekanan itu terus berlangsung tanpa henti. Pada titik ini, dia “sangat” membutuhkan pertolongan dari orang lain. Jika dia tidak mendapatkan pertolongan dalam bentuk positif, maka tekanan yang menimpanya akan semakin menjadikan dirinya tidak berdaya. Sehingga ia pun akan menemui kegagalan demi kegagalan. Ini sangat urgen untuk diperhatikan!
Seseorang akan dikatakan goblok ketika ia berada dalam kondisi yang menunjukkan ketiadaan pengetahuan tertentu yang belum dimilikinya. Ini dikarenakan ia belum mendapatkan kesempatan untuk memahami apa yang harus dipahami (pengetahuan afektifnya); dan melakukan apa yang seharusnya ia lakukan (pengetahuan psikomotoriknya); serta mengerti apa yang seharusnya dimengerti (pengetahuan kognitifnya).
Manusia dalam keterbatasan dirinya, juga keterbatasan ruang dan waktu yang dimilikinya, ia tidak akan mungkin bisa mengetahui segala sesuatunya—tidak ada yang maha tahu dan maha mengetahui, selain Dia Sang Maha Tahu dan Mengetahui!
Busthan Abdy (2018: 170-175) menjelaskan bahwa dalam proses pembelajaran di sekolah, biasanya penyebab utama orang menjadi goblok—ketiadaan pengetahuan—adalah dua hal mendasar, yaitu: tekanan dan kegagalan. Jika tidak hati-hati, maka pada semua “tekanan” akan membuahkan “kegagalan”. Setiap siswa memiliki perbedaan dalam menyikapi dua hal ini. Ada dua jenis sikap siswa di sini.
Manusia dalam keterbatasan dirinya, juga keterbatasan ruang dan waktu yang dimilikinya, ia tidak akan mungkin bisa mengetahui segala sesuatunya—tidak ada yang maha tahu dan maha mengetahui, selain Dia Sang Maha Tahu dan Mengetahui!
Busthan Abdy (2018: 170-175) menjelaskan bahwa dalam proses pembelajaran di sekolah, biasanya penyebab utama orang menjadi goblok—ketiadaan pengetahuan—adalah dua hal mendasar, yaitu: tekanan dan kegagalan. Jika tidak hati-hati, maka pada semua “tekanan” akan membuahkan “kegagalan”. Setiap siswa memiliki perbedaan dalam menyikapi dua hal ini. Ada dua jenis sikap siswa di sini.
Sikap Pertama. Ada siswa yang ketika mendapatkan tekanan, ia justru menjadikan tekanan itu sebagai acuan untuk menjadi lebih baik. Dia akan berusaha semampunya untuk keluar dari sona nyamannya, dan menghadapi setiap tekanan dan kesulitan dengan jujur dan apa adanya.
Sikap kedua. Namun ada pula siswa yang tidak mampu menghadapi tekanan ini dengan sendiri, apalagi jika tekanan itu terus berlangsung tanpa henti. Pada titik ini, dia “sangat” membutuhkan pertolongan dari orang lain. Jika dia tidak mendapatkan pertolongan dalam bentuk positif, maka tekanan yang menimpanya akan semakin menjadikan dirinya tidak berdaya. Sehingga ia pun akan menemui kegagalan demi kegagalan. Ini sangat urgen untuk diperhatikan!
Kedua jenis sikap di atas, akan menentukan bagaimana nantinya seseorang bisa bertahan menghadapi “tekanan” dan “kegagalan”. Memang, suatu tekanan dan sebuah kegagalan merupakan dua hal yang berbeda—tetapi keduanya bisa pula menciptakan hubungan andragogik (dua arah—timbal-balik). Jika salah menyikapi, kedua hal ini akan menjalin hubungan yang sifatnya andragogik, seperti jenis sikap kedua di atas, begitupun sebaliknya.
Tekanan
Sifat mendasar dari sebuah “tekanan” adalah menekan. Ketika sesuatu menekan, dampaknya adalah tertekan. Dengan tertekan, lahirlah dua kondisi yang antagonistis, positif dan negatif. Akan positif jika tekanan itu mampu disikapi, tetapi juga akan negatif jika tekanan itu tidak mampu disikapi.
Sifat mendasar dari sebuah “tekanan” adalah menekan. Ketika sesuatu menekan, dampaknya adalah tertekan. Dengan tertekan, lahirlah dua kondisi yang antagonistis, positif dan negatif. Akan positif jika tekanan itu mampu disikapi, tetapi juga akan negatif jika tekanan itu tidak mampu disikapi.
Untuk kondisi positif, tekanan akan melibatkan seseorang pada proses yang berubah dan menghasilkan nilai-nilai yang juga positif. Sebaliknya, untuk kondisi yang negatif akan melibatkan seseorang pada proses yang sulit untuk berubah dan tentunya menghasilkan pula nilai-nilai yang negatif
Abraham Maslow dalam Busthan Abdy (2018:172) menguraikan bahwa dalam kajian teori humanistik, terdapat 4 (empat) macam tahapan mendasar dalam belajar, yaitu sebagai berikut:
Unconscionus Incompetence, tahapan ini adalah titik awal seseorang belajar, yaitu tahap dasar tempat dimana orang memulai segala sesuatunya. Seseorang tidak tahu dan tidak sadar jika ia tidak tahu.
Conscious Incompetence, dimana tahapan ini adalah kondisi ketika seseorang sadar bahwa ia tidak tahu. Lalu bagaimana ia bisa menyadarinya? Biasanya ada orang lain yang memberitahukannya, tetapi adakalanya juga ia dengan sendirinya dapat menyadari.
Conscious Competence, dimana tahapan ini adalah kondisi ketika seseorang sudah mempelajari sesuatu, seperti contohnya, pertama kali menyetir mobil, dan ia sadar ketika melakukannya.
Unconscious Competence, tahapan ini bisa merupakan tahap dimana seseorang sudah mahir sampai ia bahkan tak pernah memikirnya lagi. Misalnya, ia masuk ke dalam mobil, memutar kunci kontak, melepaskan pedal rem, menginjak gas perlahan-lahan, memasukkan persneling, serta melakukan rangkaian tindakan yang sifatnya sistematis dan terkordinir, tanpa pernah memikirkannya. Bahkan ketika dia mengemudi mobil, dia pun bisa saja lebih banyak menggunakan waktunya untuk memikirkan hal lainnya daripada mengemudi.
Seni mengajar dan kesulitan belajar akan meletakkan seseorang berada pada tahapan yang pertama (unconscionus incompetence), yaitu dengan menempatkan diri dibagian dasar paling bawah. Tujuannya adalah agar mereka bisa bergerak naik dan memulai proses belajar.
Abraham Maslow dalam Busthan Abdy (2018:172) menguraikan bahwa dalam kajian teori humanistik, terdapat 4 (empat) macam tahapan mendasar dalam belajar, yaitu sebagai berikut:
Unconscionus Incompetence, tahapan ini adalah titik awal seseorang belajar, yaitu tahap dasar tempat dimana orang memulai segala sesuatunya. Seseorang tidak tahu dan tidak sadar jika ia tidak tahu.
Conscious Incompetence, dimana tahapan ini adalah kondisi ketika seseorang sadar bahwa ia tidak tahu. Lalu bagaimana ia bisa menyadarinya? Biasanya ada orang lain yang memberitahukannya, tetapi adakalanya juga ia dengan sendirinya dapat menyadari.
Conscious Competence, dimana tahapan ini adalah kondisi ketika seseorang sudah mempelajari sesuatu, seperti contohnya, pertama kali menyetir mobil, dan ia sadar ketika melakukannya.
Unconscious Competence, tahapan ini bisa merupakan tahap dimana seseorang sudah mahir sampai ia bahkan tak pernah memikirnya lagi. Misalnya, ia masuk ke dalam mobil, memutar kunci kontak, melepaskan pedal rem, menginjak gas perlahan-lahan, memasukkan persneling, serta melakukan rangkaian tindakan yang sifatnya sistematis dan terkordinir, tanpa pernah memikirkannya. Bahkan ketika dia mengemudi mobil, dia pun bisa saja lebih banyak menggunakan waktunya untuk memikirkan hal lainnya daripada mengemudi.
Seni mengajar dan kesulitan belajar akan meletakkan seseorang berada pada tahapan yang pertama (unconscionus incompetence), yaitu dengan menempatkan diri dibagian dasar paling bawah. Tujuannya adalah agar mereka bisa bergerak naik dan memulai proses belajar.
Bagi mereka yang mengajar ataupun yang belajar, tentu ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tetapi tidak akan mungkin ada pertumbuhan dan perkembangan jika tidak ada belajar tanpa tekanan. Tekanan mutlak diperlukan dalam proses belajar.
Terlalu banyak tekanan memang bisa membuat stres, frustasi, bahkan cemas. Tetapi harus diingat pula bahwa, jika terlalu sedikit tekanan, maka akan pula membuat seseorang akan semakin bersikap apatis.
Terlalu banyak tekanan memang bisa membuat stres, frustasi, bahkan cemas. Tetapi harus diingat pula bahwa, jika terlalu sedikit tekanan, maka akan pula membuat seseorang akan semakin bersikap apatis.
Misalnya saja, ketika seseorang berdoa mengatakan.. ”Tuhanku, jauhkanlah segala kesulitan hidup ini..Amin”. Setelah berdoa, keadaan justru semakin sulit. Lalu ia pun berdoa lagi, “Tuhan apa arti semua ini? Apa yang terjadi?”. Hal yang sebenarnya terjadi adalah bahwa Tuhan sesungguhnya sedang menjawab doa.
Ingatlah bahwa setiap bentuk kesulitan dan tantangan yang datang, sebenarnya merupakan bagian penting dari proses belajar, yang akan mendewasakan seseorang ketiak ia mau untuk menyikapinya dengan jujur dan apa adanya.
Kegagalan
Kegagalan itu satu paket dengan kesuksesan. Setiap kesuksesan dimulai dengan kegagalan. Setiap kegagalan akan membuka jalan kepada kesuksesan. Kegagalan adalah bagian penting dari proses belajar. Artinya bahwa orang yang belajar adalah sekumpulan orang-orang yang mantan gagal—yang pernah gagal. Karena ia gagal, maka ia belajar dari kegagalan itu, untuk menjadi tidak gagal.
Misalnya, seorang anak kecil yang sedang belajar berjalan, ia tentunya akan memulai proses belajar berjalan ini dengan terlebih dahulu belajar duduk, berdiri, melangkah sedikit demi sedikit, lalu bisa berjalan. Setiap tahapan yang dilaluinya, terjadi berulang-ulang, berjalan sempoyongan, lalu terjatuh, tetapi ia bangkit lagi, terjatuh lagi, dan mencoba bangkit lagi, begitupun selanjutnya, hingga nantinya ia benar-benar bisa berjalan. Dan makin sering ia terjatuh, maka ia akan semakin terus untuk belajar berjalan, dan makin sering ia belajar untuk berjalan, maka makin jarang nantinya ia terjatuh—meskipun tak pernah ada saat yang tepat untuk memilih kapan akan terjatuh.
Inilah rangkaian belajar. Sebab belajar adalah sebuah proses kegagalan yang sering terjadi berulang-ulang kalinya, seperti anak yang mencoba belajar berjalan di atas. Jika tidak terjadi kegagalan, maka bukan belajar namanya.
Kegagalan itu ada dan sedang dihadapi. Ia tidak pernah memisahkan diri dari proses pendidikan. Sebab kegagalan akan membelajarkan siapa saja, dimana saja, kapan saja dan dengan cara apa saja, seseorang akan belajar.
Kondisi goblok seseorang, akan menjadikan seseorang tetap goblok, ketika suatu tekanan tidak mampu disikapi, sehingga tekanan yang tidak mampu disikapi itu akan pula melahirkan kegagalan-kegagalan baru yang sifat destruktif.
Jadi, pertanyaannya: mengapa goblok? Karena ketika “tekanan” dan “kegagalan” datang, seseorang tidak mampu menyikapinya dengan bijak. Inilah prinsip utamanya!
Kegagalan
Kegagalan itu satu paket dengan kesuksesan. Setiap kesuksesan dimulai dengan kegagalan. Setiap kegagalan akan membuka jalan kepada kesuksesan. Kegagalan adalah bagian penting dari proses belajar. Artinya bahwa orang yang belajar adalah sekumpulan orang-orang yang mantan gagal—yang pernah gagal. Karena ia gagal, maka ia belajar dari kegagalan itu, untuk menjadi tidak gagal.
Misalnya, seorang anak kecil yang sedang belajar berjalan, ia tentunya akan memulai proses belajar berjalan ini dengan terlebih dahulu belajar duduk, berdiri, melangkah sedikit demi sedikit, lalu bisa berjalan. Setiap tahapan yang dilaluinya, terjadi berulang-ulang, berjalan sempoyongan, lalu terjatuh, tetapi ia bangkit lagi, terjatuh lagi, dan mencoba bangkit lagi, begitupun selanjutnya, hingga nantinya ia benar-benar bisa berjalan. Dan makin sering ia terjatuh, maka ia akan semakin terus untuk belajar berjalan, dan makin sering ia belajar untuk berjalan, maka makin jarang nantinya ia terjatuh—meskipun tak pernah ada saat yang tepat untuk memilih kapan akan terjatuh.
Inilah rangkaian belajar. Sebab belajar adalah sebuah proses kegagalan yang sering terjadi berulang-ulang kalinya, seperti anak yang mencoba belajar berjalan di atas. Jika tidak terjadi kegagalan, maka bukan belajar namanya.
Kegagalan itu ada dan sedang dihadapi. Ia tidak pernah memisahkan diri dari proses pendidikan. Sebab kegagalan akan membelajarkan siapa saja, dimana saja, kapan saja dan dengan cara apa saja, seseorang akan belajar.
Kondisi goblok seseorang, akan menjadikan seseorang tetap goblok, ketika suatu tekanan tidak mampu disikapi, sehingga tekanan yang tidak mampu disikapi itu akan pula melahirkan kegagalan-kegagalan baru yang sifat destruktif.
Jadi, pertanyaannya: mengapa goblok? Karena ketika “tekanan” dan “kegagalan” datang, seseorang tidak mampu menyikapinya dengan bijak. Inilah prinsip utamanya!
Oleh: Abdy Busthan
Tulisan ini dikutip dari buku berjudul:
Pendidikan Berbasis Goblok
Penulis: Abdy Busthan
Penerbit: Desna Life Ministry
Alamat Penerbit: Kupang
Tahun terbit: 2018