masukkan script iklan disini
Dalam konteks kontemporer, rasa “nasionalisme” sudah tak lagi sekuat dentuman syair Proklamasi. Nasionalisme bahkan tak semerdu lantunan lagu Indonesia Raya. Rasa nasionalisme sepertinya memang sudah menjadi redup dalam bayang-bayang religiusitas yang membabi buta.
Ya, rasa nasionalisme sudah tidak lagi bisa diwujudkan sebagai semangat membela NKRI, tetapi ia justru berubah wujud menjadi semangat untuk “membela Tuhan”.
Membela Tuhan! Ini adalah semangat segelintir orang di medan merdeka ini yang mengatasnamakan agama demi menonjolkan rasa nasionalis buta dan brutal. Sikap membela Tuhan semestinya tidak bisa dipersandingkan dengan konsep nasionalis. Mengapa? Sebab agama dan negara adalah dua hal yang sangat berbeda. Seharusnya dengan berlindung kepada Tuhan, maka umat secara ekslusif, sudah dapat membela Tuhannya melalui kehidupan agama yang penuh cinta kasih dan damai sejahtera, tanpa ia harus berbenturan dengan kekerasan.
Membela Tuhan! Ini adalah semangat segelintir orang di medan merdeka ini yang mengatasnamakan agama demi menonjolkan rasa nasionalis buta dan brutal. Sikap membela Tuhan semestinya tidak bisa dipersandingkan dengan konsep nasionalis. Mengapa? Sebab agama dan negara adalah dua hal yang sangat berbeda. Seharusnya dengan berlindung kepada Tuhan, maka umat secara ekslusif, sudah dapat membela Tuhannya melalui kehidupan agama yang penuh cinta kasih dan damai sejahtera, tanpa ia harus berbenturan dengan kekerasan.
Sikap nasionalis ini memang suatu wilayah yang amat berpotensi untuk bercokolnya kelompok-kelompok agamis demi mempertahankan ideologi suatu agama dengan cara-cara keji.
ISIS misalnya, berjuang atas nama Islam dengan tujuan utamanya untuk membangun negara khilafah melalui pemberontakan pada semua sistem negara. Mereka pun membunuh orang-orang yang tak berdaya atas nama Tuhan.
Kelompok lainnya lagi, pelaku-pelaku bom bunuh diri yang kerapkali merongrong ketentraman dunia internasional, bahkan sampai memecah-belah persatuan berbangsa di Indonesia (kasus bom Bali, Samarinda, Jakarta, Poso, Ambon, Aceh, Papua, dll), semua perbuatannya itu dilakukan dengan tanpa henti-hentinya membela Tuhan dan mengatasnamakan ajaran Islam, demi untuk mendirikan sebuah negara Islam di muka bumi ini.
Tentu saja, kedua bentuk gerakan ini lebih diakibatkan oleh rasa nasionalis dan fanatisme agama secara simultan.
Membela Sekaligus Mengadili Tuhan
Memang tak dapat di pungkiri bahwa dalam iklim demokrasi kita saat ini, tampak bahwa beragam konflik horizontal yang terjadi diantara umat beragama, sering berujung pada tindakan kekerasan. Dan secara teologis, selalu berakar kepada pembenaran dan perebutan istilah Tuhan.
Tuhan Sang Absolut dimonopoli oleh kelompok-kelompok radikal agama secara kaku dan cenderung menjadikan Tuhan yang personifikatif. Padahal, Tuhan merupakan sesuatu yang sangat Absolute (mutlak), Distinc (berbeda dari yang lainya) dan Unique (Maha Esa).
Mungkin persoalan perbedaan persepsi dari masing-masing umat beragama haruslah dihargai, karena memang manusia tidak mampu memonopoli sebuah perspektif atau bahkan memonopoli kebenaran (truth claim).
Bagi iman Kristiani, tentu paham tentang “Trinitas” atau “Trimurti” dalam umat Hindu, tak bisa disalahkan oleh penganut agama lain, sebab ini menyangkut hal pokok dalam beragama (teologis) dari kedua agama ini. Kunci permasalahannya, terletak pada munculnya sikap yang selalu merasa benar atau monopoli kebenaran agama lain.
Jika manusia memonopoli kebenaran agama lain, yang sebenarnya tidak dipahaminya, maka manusia telah berani memonopoli pengertian Tuhan, bahkan menjadi Tuhan itu sendiri. Cara berpikir seperti ini, selanjutnya diterjemahkan ke dalam berbagai bentuk-bentuk sikap hidup dalam masyarakat.
Akhirnya otoritas sang Tuhan yang Maha Absolut seakan diwakilkan oleh sekelompok manusia agama yang terus-menerus mengklaim agamanya sebagai wakil Tuhan, yang meskipun pembahasan akan tema-tema teologis seperti ini cenderung “tandus” dan sangat “gersang” maknanya, sebab Tuhan dipersonifikasikan—bahkan dilimitasi sebagai sosok langit yang bertakhta di sebuah tempat yang unlimited.
Selanjutnya, atribut kemanusiaan kemudian digunakan kepada Tuhan, yang sebenarnya manusia takkan sanggup menggapai absolutisme Tuhan. Tapi bagaimanapun, manusia juga selalu berusaha untuk menghadirkan Tuhan ke ranah kemanusiaannya, agar ia lebih mengenal, lebih dekat dan merasa sebagai umat-Nya.
Rasa kemanusiaan kita sebagai makhluk Tuhan, memang haus akan kehadiran Tuhan (Omni Present) dengan kasih sayang dan kelembutan-Nya. Inilah watak dasar manusia sebenarnya yang telah ditiupkan ruh (soul) oleh Tuhan. Seharusnya, rasa inilah yang dimunculkan umat manusia dalam hal menerjemahkan kebertuhanannya di setiap aspek kehidupan yang berada dalam masyarakat plural.
Manusia pada dasarnya sangat butuh kepada Tuhan dan selalu bergantung pada-Nya. Jika posisi manusia itu adalah makhluk yang mutlak bergantung (dependen) pada Tuhan, maka manusia tidak harus bersikap seperti “mewakili Tuhan”.
Sangat paradoks tampaknya jika Yang Maha Kuasa butuh wakil di muka bumi, dengan segala relativitas yang melekat kepada yang merasa mewakili tadi. Mewakili dalam artian kita seakan menjadi penerjemah dan penafsir tunggal kemauan Tuhan. Sungguh, Tuhan Maha Kuasa dan manusia penuh dengan kesalahan.
Agama Islam misalnya, sebagai simbol rahmatan lil’alamin, janganlah dijadikan hanya sebatas doktrin teologis-sosial saja, tapi mesti diterjemahkan secara ril dan konsisten. Karena Tuhan adalah Maha Lembut dan para Nabi dan Rasul juga adalah pribadi-pribadi yang lembut. Para Nabi adalah pribadi yang selalu menjadi “primus inter pares” di zamannya, yang dengan kepribadian lembut sesuai perintah Tuhan, mereka mampu membawa umat kepada Tuhan.
Kekerasan atas nama agama tidak lebih daripada cara-cara hewani layaknya istilah “leviathan” (makhluk raksasa) yang pernah dituliskan Thomas Hobbes. Bagaimanapun juga, perbuatan kekerasan yang membawa dan mengatasnamakan kelompok agama, apalagi mengatasnamakan Tuhan, adalah tindakan yang selalu menihilkan rasa kemanusiaan dan kebertuhanan kita sebagi manusia. Karena Tuhan adalah entitas yang tidak membutuhkan pembelaan—manusia lah yang sebenarnya membutuhkan pembelaan dari Tuhan.
Perlu disadari bahwa, relasi antara manusia dan Tuhan adalah relasi “ketergantungan”—sebagaimana dalam filsafat Thomas Aquino dan teologi Kristiani (juga dalam teologi monoteistik)—diungkapkan dengan distingsi bahwa, Tuhan adalah Necessarium dan manusia adalah contingens.
Tuhan adalah prinsip “Harus” dari segala apa yang ada, sementara manusia sebagai ciptaan yang “bisa ada” dan “bisa tidak ada”. Manusia tidak mungkin ada, tanpa sang prinsip “Harus Ada” tersebut. Tuhanlah yang mengadakan manusia. Pada tataran penghayatan spiritual-religius dalam hidup konkret sehari-hari, Tuhan adalah Dia yang kita sembah. Dia adalah Awal dan Tujuan Akhir dari hidup manusia (Riyanto Armada, 2011:152).
Tuhan dalam Wacana Demokrasi
Dalam realitas kehidupan demokrasi yang dijalankan di negara ini, Tuhan terlihat justru semakin babak belur. Tampak bahwa relasi antara Tuhan dan manusia tidak dimulai dari siapa Tuhan. Melainkan dari pengertian mendalam tentang siapakah manusia. Menurut Derrida, hal ini dinamakan pemahaman dekonstruktif, yaitu sebuah penelaahan ulang wacana tradisional. Seperti yang juga pernah ditegaskan oleh Feuerbach bahwa 'bukan' Tuhan yang menciptakan manusia, tetapi manusialah yang menciptakan Tuhan.
Berbagai persoalan dalam kehidupan berdemokrasi di negara kita ini bukan saja menggeser paham doktrinal tentang Tuhan, tetapi lebih daripada itu, justru mengelaborasi teologi dari antropologi. Pada titik ini, maka pengalaman manusia adalah segalanya. Artinya bahwa pengalaman manusia adalah titik berangkat refleksi teologis.
Dengan pengalaman manusia yang begitu plural di alam demokrasi, maka pluralisme dijadikan dasar munculnya gelombang cara berpikir khas postmodern, dimana refleksi dari relasi antara Tuhan dan manusia menjadi sulit untuk diseragamkan dalam satu bahasa.
Armstrong (1993) kemudian muncul dan menggagas kemungkinan untuk segera menggelar sebuah ‘pengadilan’ terhadap Tuhan. Pada titik ini Armstrong mengukir pergeseran konsep tentang Tuhan! Tuhan harus di adili. Mengapa? Karena Ia telah membiarkan sekian juta manusia menderita tanpa jejak dan sebab pasti, demikian dikatakan Amstrong melalui karya fenomenalnya “A History of God”.
Akhirnya, iklim demokrasi yang seharusnya menghargai perbedaan justru tampil sebagai “pemberontakan” tanpa syarat atas relasi Tuhan dan manusia. Tuhan tidak lagi menjadi Dia yang Encompassing (pelindung dan mengatasi segala), tetapi Tuhan menjadi suatu pribadi yang semakin babak belur akibat Dia dapat dimaki, dituduh, dan diadili.
Oleh: Abdy Busthan