masukkan script iklan disini
Dalam evaluasi hasil belajar diperlukan prinsip-prinsip sebagai petunjuk dan rambu-rambu untuk melaksanakan evaluasi yang efektif dan sistematis, guna menghasilkan penilaian yang jujur dan bertanggungjawab.
Menurut Busthan Abdy (2016:22-28), secara universal terdapat tujuh prinsip evaluasi hasil belajar, yaitu sebagai berikut:
1. Pasti dan Tepat
Pada prinsipnya, kepastian dan ketepatan dalam proses evaluasi, adalah hal utama dan pertama untuk dilakukan. Karena, efektifitas sebuah evaluasi akan tergantung pada deskripsi yang jelas dari apa yang akan di evaluasi. Jadi, evaluasi dapat terlaksana dengan baik, jika tujuan evaluasi terlebih dahulu dirumuskan secara jelas, yaitu dalam definisi yang operasional. Untuk mengevaluasi kemajuan belajar siswa, maka perlu dilakukan identifikasi dan definisi tujuan-tujuan instruksional pengajaran, yang nantinya berguna untuk dikembangkan alat evaluasinya.
Dapat dipahami bahwa, pelaksanaan evaluasi pembelajaran, haruslah mengacu pada tujuan pembelajaran yang ditetapkan. Tujuan merupakan kriteria utama yang menentukan arah kegiatan evaluasi. Sementara sasaran kegiatan evaluasi adalah untuk melihat tercapai tidaknya tujuan dari pelaksanaan kegiatan pembelajaran. Untuk itu, tujuan pembelajaran merupakan landasan utama yang dijadikan patokan dalam melaksanakan evaluasi pembelajaran.
Secara umum, alat evaluasi dalam pembelajaran adalah berupa 'tes' yang nantinya akan mencerminkan karakteristik aspek yang akan di ukur. Jika guru akan mengevaluasi tingkat intelegensi siswa-siswanya, maka komponen-komponen intelegensi itu harus dirumuskan dengan jelas, seiring dengan ketepatan perumusan kemampuan belajar yang ingin pula dicapai dalam pembelajaran. Sehingga nantinya dapat dikembangkan tes sebagai alat evaluasi.
Dengan demikian, maka keberhasilan evaluasi hasil belajar lebih banyaknya ditentukan oleh kemampuan guru (evaluator) dalam merumuskan serta mendefinisikan dengan jelas, seluruh aspek-aspek individual ke dalam proses pembelajaran.
2. Autentik dan Sahih
Evaluasi akan valid, jika evaluasi tersebut secara autentik (dapat dipercaya) dan sahih (sah/benar), dapat mengungkapkan atau mengukur apa yang seharusnya di ukur. Untuk memperoleh hasil evaluasi yang autentik, dibutuhkan instrumen yang memenuhi syarat kesahihan sebuah instrumen evaluasi. Agar dapat memahami pengertian evaluasi yang valid dalam konteks ini, maka Sudijono Anas (2006:96) memberikan gambaran berupa alat pengukur barometer dan termometer. Barometer adalah alat ukur yang dipandang tepat untuk mengukur tekanan udara. Jadi, dapat dikatakan bahwa, barometer tanpa diragukan lagi adalah alat pengukur "yang valid" untuk mengukur tekanan udara.
Dengan kata lain, jika seseorang melakukan pengukuran terhadap tekanan udara dengan menggunakan alat pengukur berupa barometer, maka hasil pengukuran yang nantinya diperoleh itu akan dipandang tepat dan dapat dipercaya. Tetapi jika hal ini di balik, seperti misalnya seseorang mengukur tekanan udara dengan alat lain yang bukan barometer, maka hasil pengukurannya adalah tidak valid.
Demikian pula halnya dengan termometer yang merupakan alat pengukur yang juga dipandang tepat dan benar untuk mengukur tinggi rendahnya suhu udara. Jadi dapat dikatakan bahwa termometer adalah adalah alat pengukur yang valid untuk mengukur suhu udara. Jika di balik, juga sama dengan yang di atas (barometer).
Jadi, secara autentik dan sahih, maka evaluasi akan selalu ditentukan oleh faktor-faktor instrumen evaluasi itu sendiri, seperti bagaimana desain akan tujuan evaluasi, penskoran, tingkat respon siswa dalam proses pembelajaran, dll.
Pada prinsipnya, kepastian dan ketepatan dalam proses evaluasi, adalah hal utama dan pertama untuk dilakukan. Karena, efektifitas sebuah evaluasi akan tergantung pada deskripsi yang jelas dari apa yang akan di evaluasi. Jadi, evaluasi dapat terlaksana dengan baik, jika tujuan evaluasi terlebih dahulu dirumuskan secara jelas, yaitu dalam definisi yang operasional. Untuk mengevaluasi kemajuan belajar siswa, maka perlu dilakukan identifikasi dan definisi tujuan-tujuan instruksional pengajaran, yang nantinya berguna untuk dikembangkan alat evaluasinya.
Dapat dipahami bahwa, pelaksanaan evaluasi pembelajaran, haruslah mengacu pada tujuan pembelajaran yang ditetapkan. Tujuan merupakan kriteria utama yang menentukan arah kegiatan evaluasi. Sementara sasaran kegiatan evaluasi adalah untuk melihat tercapai tidaknya tujuan dari pelaksanaan kegiatan pembelajaran. Untuk itu, tujuan pembelajaran merupakan landasan utama yang dijadikan patokan dalam melaksanakan evaluasi pembelajaran.
Secara umum, alat evaluasi dalam pembelajaran adalah berupa 'tes' yang nantinya akan mencerminkan karakteristik aspek yang akan di ukur. Jika guru akan mengevaluasi tingkat intelegensi siswa-siswanya, maka komponen-komponen intelegensi itu harus dirumuskan dengan jelas, seiring dengan ketepatan perumusan kemampuan belajar yang ingin pula dicapai dalam pembelajaran. Sehingga nantinya dapat dikembangkan tes sebagai alat evaluasi.
Dengan demikian, maka keberhasilan evaluasi hasil belajar lebih banyaknya ditentukan oleh kemampuan guru (evaluator) dalam merumuskan serta mendefinisikan dengan jelas, seluruh aspek-aspek individual ke dalam proses pembelajaran.
2. Autentik dan Sahih
Evaluasi akan valid, jika evaluasi tersebut secara autentik (dapat dipercaya) dan sahih (sah/benar), dapat mengungkapkan atau mengukur apa yang seharusnya di ukur. Untuk memperoleh hasil evaluasi yang autentik, dibutuhkan instrumen yang memenuhi syarat kesahihan sebuah instrumen evaluasi. Agar dapat memahami pengertian evaluasi yang valid dalam konteks ini, maka Sudijono Anas (2006:96) memberikan gambaran berupa alat pengukur barometer dan termometer. Barometer adalah alat ukur yang dipandang tepat untuk mengukur tekanan udara. Jadi, dapat dikatakan bahwa, barometer tanpa diragukan lagi adalah alat pengukur "yang valid" untuk mengukur tekanan udara.
Dengan kata lain, jika seseorang melakukan pengukuran terhadap tekanan udara dengan menggunakan alat pengukur berupa barometer, maka hasil pengukuran yang nantinya diperoleh itu akan dipandang tepat dan dapat dipercaya. Tetapi jika hal ini di balik, seperti misalnya seseorang mengukur tekanan udara dengan alat lain yang bukan barometer, maka hasil pengukurannya adalah tidak valid.
Demikian pula halnya dengan termometer yang merupakan alat pengukur yang juga dipandang tepat dan benar untuk mengukur tinggi rendahnya suhu udara. Jadi dapat dikatakan bahwa termometer adalah adalah alat pengukur yang valid untuk mengukur suhu udara. Jika di balik, juga sama dengan yang di atas (barometer).
Jadi, secara autentik dan sahih, maka evaluasi akan selalu ditentukan oleh faktor-faktor instrumen evaluasi itu sendiri, seperti bagaimana desain akan tujuan evaluasi, penskoran, tingkat respon siswa dalam proses pembelajaran, dll.
3. Komprehensif dan Universal
Kegiatan evaluasi belajar hendaknya dilaksanakan secara komprehensif, yaitu mencakup seluruh aspek kepribadian siswa, baik aspek kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Jika di tinjau dari pelaksanaannya, kegiatan evaluasi pembelajaran juga harus dilakukan secara menyeluruh (universal), baik itu evaluasi proses maupun hasil belajar siswa. Dalam bagian ini, perlu dipahami terlebih dahulu bahwa, tidak ada teknik evaluasi tunggal yang mampu mengukur tingkat kemampuan seluruh siswa dalam proses pembelajaran pada satu pertemuan jam pelajaran saja. Sebab pada kenyataannya, setiap teknik evaluasi memiliki keterbatasan dan kelebihannya sendiri-sendiri.
Misalnya, dengan hanya menggunakan tes subyektif saja, maka seorang guru akan mengalami kesulitan untuk memberikan bukti obyektif tentang tingkat kemampuan siswa yang akan di evaluasi. Sebab hal ini hanya memberikan informasi sedikit dari siswa tentang apakah ia benar-benar mengerti tentang materi tersebut, apakah siswa tersebut mampu mengembangkan keterampilan berpikirnya, ataukah akan dapat mengubah serta mengembangkan sikapnya apabila menghadapi situasi yang nyata dan lain sebagainya. Terlebih lagi, bahwa tes subyektif pada dasarnya lebih banyak tergantung pada subyektivitas dari guru yang melakukan evaluasi (evaluatornya). Jadi, evaluasi yang komprehensif akan selalu memerlukan teknik yang bervariasi. Sehingga atas dasar prinsip inilah, maka seyogyanya dalam proses belajar-mengajar, kegiatan pengukuran dan penilaian dari kemampuan belajar siswa, dapatlah ditinjau dari berbagai sisi, yang tentunya menggunakan teknik evaluasi yang bervariasi.
Karena itu, untuk mendapatkan hasil yang lebih obyektif dalam evaluasi, maka variasi dalam teknik dan desain evaluasi, tidak hanya dikembangkan dalam bentuk pengukuran kuantitas saja, tetapi juga didasarkan pada hal-hal lainnya, seperti data kualitatif siswa yang diperoleh dari observasi guru, kepala sekolah, serta semua catatan harian dan lain sebagainya. Sebab dalam pelaksanaannya, evaluasi tidak dapat dilaksanakan secara terpisah, tetapi mencakup berbagai aspek yang dapat menggambarkan perkembangan atau perubahan tingkah laku yang terjadi pada diri siswa sebagai makhluk hidup dan bukan benda mati. Dalam hubungan ini, evaluasi diharapkan tidak hanya menggambarkan aspek kognitif saja, tetapi aspek psikomotor dan aspek afektif haruslah terangkum dalam proses mengevaluasi.
Misalnya, jika dikaitkan dengan Mata Pelajaran (Mapel) Bahasa Indonesia, penilaian bukan hanya menggambarkan pemahaman siswa terhadap materi saja, melainkan juga harus dapat mengungkapkan sudah sejauh mana peserta didik dapat menghayati dan mengimplementasikan materi tersebut dalam kehidupannya. Sebab, jika prinsip evaluasi ini dilaksanakan, maka akan diperoleh bahan-bahan berupa keterangan dan informasi yang lengkap mengenai keadaan dan perkembangan subjek didik yang sedang dijadikan sasaran evaluasi, yang tentunya dilakukan menyeluruh, bulat dan utuh.
Kegiatan evaluasi belajar hendaknya dilaksanakan secara komprehensif, yaitu mencakup seluruh aspek kepribadian siswa, baik aspek kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Jika di tinjau dari pelaksanaannya, kegiatan evaluasi pembelajaran juga harus dilakukan secara menyeluruh (universal), baik itu evaluasi proses maupun hasil belajar siswa. Dalam bagian ini, perlu dipahami terlebih dahulu bahwa, tidak ada teknik evaluasi tunggal yang mampu mengukur tingkat kemampuan seluruh siswa dalam proses pembelajaran pada satu pertemuan jam pelajaran saja. Sebab pada kenyataannya, setiap teknik evaluasi memiliki keterbatasan dan kelebihannya sendiri-sendiri.
Misalnya, dengan hanya menggunakan tes subyektif saja, maka seorang guru akan mengalami kesulitan untuk memberikan bukti obyektif tentang tingkat kemampuan siswa yang akan di evaluasi. Sebab hal ini hanya memberikan informasi sedikit dari siswa tentang apakah ia benar-benar mengerti tentang materi tersebut, apakah siswa tersebut mampu mengembangkan keterampilan berpikirnya, ataukah akan dapat mengubah serta mengembangkan sikapnya apabila menghadapi situasi yang nyata dan lain sebagainya. Terlebih lagi, bahwa tes subyektif pada dasarnya lebih banyak tergantung pada subyektivitas dari guru yang melakukan evaluasi (evaluatornya). Jadi, evaluasi yang komprehensif akan selalu memerlukan teknik yang bervariasi. Sehingga atas dasar prinsip inilah, maka seyogyanya dalam proses belajar-mengajar, kegiatan pengukuran dan penilaian dari kemampuan belajar siswa, dapatlah ditinjau dari berbagai sisi, yang tentunya menggunakan teknik evaluasi yang bervariasi.
Karena itu, untuk mendapatkan hasil yang lebih obyektif dalam evaluasi, maka variasi dalam teknik dan desain evaluasi, tidak hanya dikembangkan dalam bentuk pengukuran kuantitas saja, tetapi juga didasarkan pada hal-hal lainnya, seperti data kualitatif siswa yang diperoleh dari observasi guru, kepala sekolah, serta semua catatan harian dan lain sebagainya. Sebab dalam pelaksanaannya, evaluasi tidak dapat dilaksanakan secara terpisah, tetapi mencakup berbagai aspek yang dapat menggambarkan perkembangan atau perubahan tingkah laku yang terjadi pada diri siswa sebagai makhluk hidup dan bukan benda mati. Dalam hubungan ini, evaluasi diharapkan tidak hanya menggambarkan aspek kognitif saja, tetapi aspek psikomotor dan aspek afektif haruslah terangkum dalam proses mengevaluasi.
Misalnya, jika dikaitkan dengan Mata Pelajaran (Mapel) Bahasa Indonesia, penilaian bukan hanya menggambarkan pemahaman siswa terhadap materi saja, melainkan juga harus dapat mengungkapkan sudah sejauh mana peserta didik dapat menghayati dan mengimplementasikan materi tersebut dalam kehidupannya. Sebab, jika prinsip evaluasi ini dilaksanakan, maka akan diperoleh bahan-bahan berupa keterangan dan informasi yang lengkap mengenai keadaan dan perkembangan subjek didik yang sedang dijadikan sasaran evaluasi, yang tentunya dilakukan menyeluruh, bulat dan utuh.
4. Praktis
Evaluasi pembelajaran yang baik, harus mudah untuk dilaksanakan, rendah biaya, hemat waktu dan tenaga, serta bisa mencapai tujuan secara optimal. Sehingga nantinya kegiatan evaluasi pembelajaran tersebut dapat memberikan motivasi kepada siswa untuk meningkatkan prestasi belajarnya. Jadi, kepraktisan suatu evaluasi hasil belajar adalah juga kemudahan-kemudahan yang ada pada instrumen evaluasi itu sendiri, baik itu dalam hal mempersiapkan, menggunakan, menginterpretasi, serta memperoleh hasil maupun kemudahan dalam menyimpan.
Evaluasi pembelajaran yang baik, harus mudah untuk dilaksanakan, rendah biaya, hemat waktu dan tenaga, serta bisa mencapai tujuan secara optimal. Sehingga nantinya kegiatan evaluasi pembelajaran tersebut dapat memberikan motivasi kepada siswa untuk meningkatkan prestasi belajarnya. Jadi, kepraktisan suatu evaluasi hasil belajar adalah juga kemudahan-kemudahan yang ada pada instrumen evaluasi itu sendiri, baik itu dalam hal mempersiapkan, menggunakan, menginterpretasi, serta memperoleh hasil maupun kemudahan dalam menyimpan.
Suatu evaluasi dapat dikatakan memiliki praktikabilitas yang tinggi, apabila dalam pelaksanaannya lebih bersifat praktis dan mudah untuk pengadministrasiannya. Karena itu, faktor-faktor yang mempengaruhi kepraktisan instrumen evaluasi meliputi: 1) kemudahan dalam mengadministrasi; 2) waktu yang disediakan untuk melancarkan kegiatan evaluasi; 3) kemudahan menskor; 4) kemudahan interpretasi dan aplikasi; 5) tersedianya bentuk instrumen evaluasi yang ekuivalen (sebanding).
5. Objektif
Kegiatan evaluasi pembelajaran haruslah dilaksanakan secara objektif, yaitu dengan pelaksanaan yang memang benar-benar sesuai dengan kenyataan yang ada. Misalnya saja, bila hasil evaluasi pembelajaran yang diperoleh salah satu siswa adalah A, kemudian di evaluasi oleh guru lainnya lagi, maka ia tetap memperoleh nilai A. Berangkat dari hal ini, maka prinsip objektivitas mengandung makna bahwa evaluasi hasil belajar terlepas dari faktor-faktor yang sifatnya subjektif.
Banyak kalangan sering menyebut prinsip objektif dengan sebutan “apa adanya”. Istilah “apa adanya” ini, mengandung pengertian bahwa materi evaluasi bersumber dari bahan ajar yang akan diberikan sesuai atau sejalan dengan tujuan instruksional khusus pembelajaran.
Sementara jika di tilik dari pemberian skor dalam evaluasi, istilah "apa adanya" dapatlah mengandung pengertian bahwa pekerjaan koreksi, pemberian skor, dan penentuan nilai, akan terhindar dari unsur-unsur subjektivitas yang melekat pada diri tester (pemberi tes/guru).
Instrumen evaluasi hendaknya terhindar dari pengaruh-pengaruh subjektivitas pribadi dari evaluator (guru) dalam menetapkan hasilnya. Dalam menekan pengaruh subjektivitas yang tidak bisa dihindari ini, hendaknya evaluasi dilakukan mengacu kepada pedoman yang sudah ada, terutama menyangkut masalah kontinuitas. Karena itu, evaluasi harus mengukur dan menilai sesuai dengan kenyataan yang ada dan sebenarnya. Katakanlah yang putih itu putih, dan yang merah itu merah. Jangan mengatakan yang putih itu merah, dan yang merah itu putih.
Misalnya, apabila pada kenyataan yang sebenarnya seorang siswa sukses mendapatkan standar nilai kelulusan yang sangat baik, maka siswa tersebut haruslah di nilai sesuai dengan kesuksesan yang di dapatkannya, dan sebaliknya, apabila siswa itu kurang berhasil dalam pembelajaran, maka harus di akui bahwa ia memang tidak berhasil, dan tidak boleh ada rekayasa di situ. Untuk mencapai keobyektifan dalam evaluasi, maka perlu adanya data dan fakta yang melaporkan hal yang jujur, bertanggungjawab dan sebenar-benarnya. Sehingga, dari data dan fakta tersebut, maka dapat di kelola untuk kemudian di ambil suatu kesimpulan yang objektif pula. Karena itu, makin lengkap data dan fakta yang didapatkan serta dikumpulkan, maka akan semakin obyektif pula evaluasi yang akan dilakukan.
Kegiatan evaluasi pembelajaran haruslah dilaksanakan secara objektif, yaitu dengan pelaksanaan yang memang benar-benar sesuai dengan kenyataan yang ada. Misalnya saja, bila hasil evaluasi pembelajaran yang diperoleh salah satu siswa adalah A, kemudian di evaluasi oleh guru lainnya lagi, maka ia tetap memperoleh nilai A. Berangkat dari hal ini, maka prinsip objektivitas mengandung makna bahwa evaluasi hasil belajar terlepas dari faktor-faktor yang sifatnya subjektif.
Banyak kalangan sering menyebut prinsip objektif dengan sebutan “apa adanya”. Istilah “apa adanya” ini, mengandung pengertian bahwa materi evaluasi bersumber dari bahan ajar yang akan diberikan sesuai atau sejalan dengan tujuan instruksional khusus pembelajaran.
Sementara jika di tilik dari pemberian skor dalam evaluasi, istilah "apa adanya" dapatlah mengandung pengertian bahwa pekerjaan koreksi, pemberian skor, dan penentuan nilai, akan terhindar dari unsur-unsur subjektivitas yang melekat pada diri tester (pemberi tes/guru).
Instrumen evaluasi hendaknya terhindar dari pengaruh-pengaruh subjektivitas pribadi dari evaluator (guru) dalam menetapkan hasilnya. Dalam menekan pengaruh subjektivitas yang tidak bisa dihindari ini, hendaknya evaluasi dilakukan mengacu kepada pedoman yang sudah ada, terutama menyangkut masalah kontinuitas. Karena itu, evaluasi harus mengukur dan menilai sesuai dengan kenyataan yang ada dan sebenarnya. Katakanlah yang putih itu putih, dan yang merah itu merah. Jangan mengatakan yang putih itu merah, dan yang merah itu putih.
Misalnya, apabila pada kenyataan yang sebenarnya seorang siswa sukses mendapatkan standar nilai kelulusan yang sangat baik, maka siswa tersebut haruslah di nilai sesuai dengan kesuksesan yang di dapatkannya, dan sebaliknya, apabila siswa itu kurang berhasil dalam pembelajaran, maka harus di akui bahwa ia memang tidak berhasil, dan tidak boleh ada rekayasa di situ. Untuk mencapai keobyektifan dalam evaluasi, maka perlu adanya data dan fakta yang melaporkan hal yang jujur, bertanggungjawab dan sebenar-benarnya. Sehingga, dari data dan fakta tersebut, maka dapat di kelola untuk kemudian di ambil suatu kesimpulan yang objektif pula. Karena itu, makin lengkap data dan fakta yang didapatkan serta dikumpulkan, maka akan semakin obyektif pula evaluasi yang akan dilakukan.
6. Kontinuitas
Evaluasi yang berkesinambungan adalah evaluasi yang dilakukan secara terus menerus, sinkron dengan materi pelajaran, tahap demi tahap, sambung-menyambung, serta berkesinambungan dari waktu ke waktu. Penilaian secara berkesinambungan, akan memungkinkan guru untuk memperoleh keseluruhan informasi yang dapat memberikan gambaran lengkap mengenai kemajuan dan perkembangan siswa sejak awal mengikuti pembelajaran sampai dengan saat-saat mengakhiri bidang pembelajaran yang di tempuh.
Sebab pada prinsipnya, evaluasi pembelajaran tidak hanya ditujukan pada hasil akhir yang dicapai saja, melainkan harus dilakukan sejak penyusunan rencana sampai tahap pelaporan akhir, bahkan sampai tindak lanjut. Dengan demikian, kegiatan evaluasi pembelajaran merupakan suatu proses yang harus dilaksanakan secara kontinu.
Evaluasi yang berkesinambungan adalah evaluasi yang dilakukan secara terus menerus, sinkron dengan materi pelajaran, tahap demi tahap, sambung-menyambung, serta berkesinambungan dari waktu ke waktu. Penilaian secara berkesinambungan, akan memungkinkan guru untuk memperoleh keseluruhan informasi yang dapat memberikan gambaran lengkap mengenai kemajuan dan perkembangan siswa sejak awal mengikuti pembelajaran sampai dengan saat-saat mengakhiri bidang pembelajaran yang di tempuh.
Sebab pada prinsipnya, evaluasi pembelajaran tidak hanya ditujukan pada hasil akhir yang dicapai saja, melainkan harus dilakukan sejak penyusunan rencana sampai tahap pelaporan akhir, bahkan sampai tindak lanjut. Dengan demikian, kegiatan evaluasi pembelajaran merupakan suatu proses yang harus dilaksanakan secara kontinu.
7. Pedagogis
Disamping sebagai alat penilai hasil atau pencapaian hasil belajar, evaluasi juga perlu diterapkan sebagai upaya untuk mendidik (terdapat nilai-nilai didikan), yaitu perbaikan sikap dan tingkah laku yang di tinjau dari segi pedogosis.
Hasil evaluasi hendaknya dapat dijadikan sebagai gambaran penghargaan bagi yang sudah berhasil, tetapi juga merupakan suatu pelajaran berharga bagi yang kurang berhasil, atau dijadikan acuan untuk ke depannya menjadi lebih baik lagi. Dengan demikian, maka aspek pedagogis juga diperlukan untuk melihat perubahan sikap dan perilaku sehingga pada akhirnya hasil evaluasi mampu menjadi motivator dalam diri siswa, baik itu yang sudah berhasil maupun yang belum berhasil.
Disamping sebagai alat penilai hasil atau pencapaian hasil belajar, evaluasi juga perlu diterapkan sebagai upaya untuk mendidik (terdapat nilai-nilai didikan), yaitu perbaikan sikap dan tingkah laku yang di tinjau dari segi pedogosis.
Hasil evaluasi hendaknya dapat dijadikan sebagai gambaran penghargaan bagi yang sudah berhasil, tetapi juga merupakan suatu pelajaran berharga bagi yang kurang berhasil, atau dijadikan acuan untuk ke depannya menjadi lebih baik lagi. Dengan demikian, maka aspek pedagogis juga diperlukan untuk melihat perubahan sikap dan perilaku sehingga pada akhirnya hasil evaluasi mampu menjadi motivator dalam diri siswa, baik itu yang sudah berhasil maupun yang belum berhasil.
Oleh Abdy Busthan
Rujukan Buku:
Busthan Abdy (2016). Dasar-Dasar Evaluasi Hasil Belajar. Kupang: Desna Life Ministry